FARDILLAH
Dia mengacaukanku malam ini, membuatku gila secara mendadak karna kepergiannya yang tanpa alasan. Drian datang, mengancam akan membunuhku jika sampai terjadi sesuatu pada adik tirinya ini sambil membawa kertas lusuh bertuliskan tentang perjanjian kami.
Aku bungkam dan ingin menjelaskan tapi sahabatku itu malah memberikanku bogem mentah sebelum aku sempat membuka mulut. Dia mencaci maki diriku dengan mengatakan bahwa aku adalah laki-laki tidak punya otak karna mempermainkan hati wanita.
Kenyataannya tidak begitu. Drian salah paham.
Sekarang, aku hanya bisa meringis pilu jika mengingat pukulan telaknya yang mengenai rahangku. Sakit. Tentu saja. Sambil sesekali menoleh ke arah seseorang yang tengah terbaring lemah dengan kompresan di dahinya.
Rasha Andini. Dia seseorang itu. Menemukannya barusan, entah harus menjadi kabar gembira atau malah menyedihkan bagiku.
Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang dia pikirkan sampai seperti ini. Dalam keadaan kurang enak badan, Rasha pergi ke tempat yang tidak kutau di mana. Apa dia sedang sedih? Kenapa tidak berterus terang padaku dan malah membuat semua orang kalang kabut?
Tanganku terjulur untuk mengusap pelan pipinya. Suhu tubuhnya sudah menghangat, tidak panas seperti tadi. Dalam hati, aku sangat bersyukur karna akulah orang pertama yang menjumpainya di terminal.
Jika orang lain? Entahlah, aku malas membayangkan. Atau jika yang menemukan adalah Drian, akan kupastikan, aku tidak akan pernah bisa menatapnya lagi setelah itu. Makanya, sampai sekarang, aku belum memberitahu Drian jika Rasha sudah bersamaku.
Melihatnya selemah ini, hatiku sedikit tersentuh. Kalian pasti bertanya-tanya, apakah aku khawatir? Tentu saja. Siapa pun pasti akan khawatir melihat keadaannya.
"Engh," erang Rasha. Dia menggeliat kecil sambil memegang kepalanya. Aku bergeming, terus memperhatikan semua pergerakannya. Gadis itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya memfokuskan tatapan padaku.
"Lo di rumah gue," ucapku yang mengerti tatapan matanya.
Rasha berusaha untuk duduk di atas ranjangku. Dia sangat susah payah, tapi aku sama sekali tidak ingin membantu. Biarkan, terserah apa pun yang dia pikirkan.
"G-gue mau pulang. Drian ... pasti nyariin gue," gumamnya pelan.
"Dan lo pikir gue mau ngizinin lo pulang?" maafkan aku. Tapi kali ini aku sulit mengontrol emosiku. Jadi aku bersuara begitu dingin.
Asha terpengarah beberapa detik, lalu menunduk dalam hingga kompresannya terjatuh. Hening di antara kami menjadi jeda panjang tak berarti. Sejujurnya, ada banyak pertanyaan di kepalaku. Tapi aku tidak mampu menyampaikannya.
Hanya tiga.
"Kenapa lo naruh kertas perjanjian kita di dalam laci lemari baju lo? Apa lo gak kepikiran kalau suatu saat siapa pun bakal tau? Lo tau nggak apa resikonya?"
Rasha terdiam menatapku. Bibirnya terbuka sedikit, seakan ingin membalas sesuatu. Namun kuhitung detik, tidak ada kalimat apa pun. Satu pertanyaanku, apa hal ini menyakitinya?
"Apa ... Drian udah tau?" tanyanya, nyaris tidak terdengar jika saja aku tidak memasang telinga dengan baik.
"Ya. Dan dia ngancem mau bunuh gue kalau sampai terjadi apa-apa sama lo. Padahal siapa pun tau, ini semua bukan salah gue," ketusku, mencoba untuk jujur. "Sha, gue mau, beberapa hari ini kita nggak ketemu dulu."
Kepala gadis di depanku itu kontan terangkat mendengar ucapanku. Netra dengan sorot terluka itu memandangku. Dan secepat mungkin, aku menghindarinya. Jujur, itu mengganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Days Contract (Complete)
Roman pour AdolescentsSesungguhnya aku tidak tau arti Cinta yang sebenarnya hingga harus menempuh jalan lain yang berduri untuk kulewati, tak terpikirkan olehku bahwa ada jalan yang lebih baik menanti. Aku mengenalnya karna dia teman sekelasku. Hanya karna dia selalu men...