Aku menarik tangan Drian dan Mama Rini untuk mau ikut bergabung sarapan pagi bersama kami tanpa perlu sungkan. Tapi kedua orang ini malah tetap menolak dengan alasan bisa makan di tempat lain asal tidak mengganggu kegiatan pagi keluargaku.
Aku memberengut, melipat tangan di depan dada. "Mama, sama Drian itu 'kan sekarang keluarga aku. Jadi kita harus makan di meja yang sama juga!"
Tapi apa yang kudapat? Mereka malah tetap bersikeras untuk makan di dapur saja tanpa takut mengganggu kebersamaan kami. Hell .. Mama Rini juga 'kan sekarang adalah ibuku juga.
"Rin, ayo makan bersama," ajak seseorang yang suaranya sudah kuhafal. Aku menoleh lalu tersenyum riang. Ah, Bunda sepertinya sudah mulai menerima Mama Rini.
Mama Rini hanya mengangguk kecil sambil tersenyum malu-malu, sementara anaknya yang notabene-nya adalah Kakak tiriku, sedang menggaruk tengkuknya tak enak.
____
"Terima kasih buat hari ini dan terima kasih juga atas penerimaan kaliannbuat gue dan Mama."
Aku menoleh pada Drian kemudian menggamit lengan besarnya, mencoba untuk mengakrabkan diri dengannya. "Gak usah sungkan, Dri. Sekarang atau nanti, kita akan tetap sama. Selalu nerima keberadaan lo dan Mama Rini," tuturku.
Drian tersenyum lembut, membuatku berpikir bawaha dia memang benar-benar tampan. Oh, aku menyesal pernah menyebutnya orang aneh.
"Dulu gue sering salah persepsi tentang lo. Gue selalu denger apa kata orang tentang bagaimana diri lo. Asha beginilah, Asha begitulah, tapi ternyata mereka salah. Lo itu baik, Sha, baik banget. Izinin gue buat jagain lo, ya?"
Aku terdiam, tidak mengangguk ataupun menggeleng. Hanya tersenyum untuk menenangkannya dalam menanti jawabanku. Dan tanpa kuduga, dia mengacak-acak poniku sambil tertawa. Tawa yang pertama kali kudengar sangat lepas.
"Ekhem!"
Langkah kami berdua berhenti. Menatap kaget pada manusia di hadapan kami.
Ardi!
Sebelah alisnya terangkat, bibirnya membentuk garis lurus. "Lo berdua ... pacaran?" tanyanya sambil menyender di gerbang sekolah.
Selepas dari keterjutanku barusan, kini dengan santainya aku hanya menggedikkan bahu, kemudian berjalan melewati Ardi dan meninggalkan Drian memasuki sekolah.
Tapi belum sempat aku sampai ke depan kelas, aku merasakan tanganku ditarik cukup kuat. Membuatku membalikkan badan refleks. Pemandangan mata Ardi yang terkejut adalah objek pertamaku.
"Kalian berdua saudara tiri? Gimana bisa?!" tanyanya setengah berteriak.
Aku meringis lalu kontan menekan mulutnya dengan telunjukku. Mulut cablaknya itu memang tidak bisa dikontrol!
"Iya. Tapi tolong jangan kasih tau siapa-siapa dulu. Gue takut Drian kenapa-kenapa," jawabku berbisik. Kulihat Ardi mengangguk paham.
Dia tersenyum tiga jari. "Gue gak nyangka," komentarnya, lalu merangkul bahuku. Hal yang pertama kali ia lakukan. "Besok ada acara gak?" tanyanya.
Aku yang sedang menatap anak-anak basket bermain otomatis menoleh pada cowok di sebelahku ini. Menaikkan sebelah alis. "Ada. Kenapa emangnya? Mau ngajak jalan, ya?" tanyaku balik. Kulihat dia tersenyum tiga jari.
"Ya. Pokoknya gue mau ngajak lo ke suatu tempat."
Hatiku berdebar mendengar ajakkannya. Bibirku kontan tersenyum gembira, mengekspresikan kata-kata manis yang ada di kepalaku. Aku tidak mampu berbicara, mungkin karna terlalu senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Days Contract (Complete)
Teen FictionSesungguhnya aku tidak tau arti Cinta yang sebenarnya hingga harus menempuh jalan lain yang berduri untuk kulewati, tak terpikirkan olehku bahwa ada jalan yang lebih baik menanti. Aku mengenalnya karna dia teman sekelasku. Hanya karna dia selalu men...