"Ah ... kenyangnya!" Aku menepuk-nepuk perut dua kali, menjatuhkan kepala di atas meja yang ada di kedai mi ayam.
Dari sudut mata, aku melihat Ardi terkekeh geli lalu mengacak rambutku, membuatnya tambah acak-acakkan setelah masuk rumah hantu barusan. Aku tidak sempat membenarkannya karna terlalu lapar.
"Ih! Jangan main rambut mulu napa!" teriakku jengkel.
Meleletkan lidah, Ardi meminum es tehnya kemudian berdiri menghampiri tukang mi ayam, mengeluarkan uang lima puluh ribuan.
"Sha, keluar duluan, gih. Ntar gue nyusul," titah Ardi.
Meski bingung, aku tetap menurutinya. Dengan gontai, aku keluar kedai, mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk bersinggah. Hingga mataku jatuh pada tebing yang ada pembatas temboknya (sebatas perut), menyuguhkan pemandangan kota di malam hari.
Oh, aku lupa, pasar malam di sini memang merupakan daerah dataran tinggi.
Saat sudah di sana, angin serta kerlap-kerlip lampu kota langsung menyambutku.
"Gak pernah bosen kesini ...," gumamku sambil sesekali memejamkan mata.
Hari ini Ardi kembali membuatku bahagia. Dia mengajakku bermain berbagai macam wahana tanpa melepaskan genggaman tangannya, seakan takut aku hilang. Memang tidak istimewa, tapi bagiku, itu luar biasa.
Benar bukan? Digenggam oleh orang yang kau sayang adalah salah satu keindahan tersendiri meski kau tau orang yang menggenggam tanganmu tidaklah mencintaimu. Haha.
Aku sayang Ardi, tak peduli sesering apa pun dia menyakitiku.
Ingatanku jatuh pada kejadian setengah jam lalu di rumah hantu. Di mana dia menuntunku dengan berani karna aku sudah amat gemetar saking takutnya.
"Ar, gue takut ... keluar lagi, yuk?" Ajakku seraya mendekat padanya. Aroma maskulin segera menghampiri indra penciumanku.
Tiba-tiba Ardi memasangkan topinya padaku, membuatku semakin tidak bisa melihat apa pun disamping gelapnya tempat ini.
"Jangan dibuka, ngerti? Sampe keluar, lo bakal terus begini, jadi gak bisa liat apa-apa. Paling denger suaranya aja," ucapnya tanpa nada bercanda yang biasa dia usilkan.
Aku tertegun sejenak, lalu mengangguk. Aku percaya pada Ardi. Jadi yang kulakukan adalah, menempel padanya, mengabaikan segala gangguan dari setan-setan gadungan itu.
Tapi ada satu hal yang membuatku ingin tertawa. Telapak tangan Ardi yang merangkulku terasa dingin. Dia ketakutan juga ternyata, namun dia tidak berteriak seperti yang lain.
"Idih, ada orang gila nyasar."
Aku yang kaget lantas menoleh pada objek suara. Dia, berdiri di sampingku dengan ekspresi jenakanya, hingga tak ayal membuatku tersenyum juga.
"Gila teriak gila," sahutku, dan Ardi membalasnya oleh tawaan.
"Minum, nih," ucapnya seraya memberikan sekaleng cola padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Days Contract (Complete)
Teen FictionSesungguhnya aku tidak tau arti Cinta yang sebenarnya hingga harus menempuh jalan lain yang berduri untuk kulewati, tak terpikirkan olehku bahwa ada jalan yang lebih baik menanti. Aku mengenalnya karna dia teman sekelasku. Hanya karna dia selalu men...