Bagian 7

3.2K 235 4
                                    


"Balon kempes ngapain taro di sini, sih, Sha?" tanya Drian sambil memegang balon doraemonku (pemberian Ardi) yang terletak di pinggir ujung ranjang.

Aku yang tengah menguncir rambut hanya menggedikkan bahu. Melirik Drian dari cermin rias lalu beralih pada balon kempes yang kini menjuntai ke lantai tersebut.

"Cuma pengen aja. Gak boleh emang?" Yah, itu jawabanku. Lagipula aku tidak mungkin memberitahunya jika itu dari Ardi, 'kan?

Drian ikut menggedikkan bahu, berjalan menghampiriku, menarik ikatan rambutku sebelum akhirnya tertawa lepas karna berhasil membuatku kesal. "Drian, ish! Emang gampang apa nguncir rambut!" gerutuku.

"Makanya, punya rambut jangan panjang-panjang," katanya seraya menyisir pelan rambutku. "Hari ini gak usah dikuncir. Gue lebih suka kalo lo digerai." Netra kami bertemu pandang di cermin rias.

Menghembuskan nafas lalu menjawab, "gerah tau."

"Nanti gue kipasin kalau gerah." Drian tersenyum, tapi aku tidak tau itu jenis senyuman apa. Dia tidak mungkin serius ingin mengipasiku, bukan?

Aku memutar bola mata. "Apa-apaan. Udah sana ke luar! Lo belum makan juga. Bunda sama Mama pasti udah nungguin di bawah," titahku sambil mengibas tangan, menyuruh dia keluar. Aku heran, kenapa Drian senang sekali masuk kamarku.

"Bareng aja. Lo juga belum makan, Cerdas."

Hhh ... selalu saja menyangkal. Dasar kakak tiri menyebalkan. "Iya, iya. Tapi duluan sana, gue mau benerin rambut dulu." kulihat dia mengangguk dan bergegas keluar.

Setelah aku tinggal sendiri, tatapanku terpaku pada cermin yang menampakkan potret diri. Aku, iya di dalam sana ada aku. Sudut bibirku terangkat, membentuk senyum tipis. Hari ini adalah hari yang paling aku tunggu. Dan aku harus semangat.

____

"Psstt ...," bisikan seseorang memanggilku untuk segera menoleh, betapa terkejutnya aku begitu mendapati Ardi tepat berada di depanku dengan senyum lebar.

Aku memundurkan wajah, menyubit pipinya gemas. "Lo ngagetin aja. Ada apa?" lanjutku.

Dia tersenyum, berdiri di sampingku lalu melanjutkan langkah menuju kelas. "Enggak apa-apa, cuma mau bilang 'selamat pagi pacar kedua'."

"Ih!" aku tertawa. "Iya, selamat pagi juga pacar ke--berapa, ya?" tanyaku pada diri sendiri. Tawa manis Ardi gantian berderai di sebelahku, dia menarik hidungku cukup keras, membuatku meringis.

"Sha, gue mau nanya," aku diam menunggu lanjutannya, "kalau cewek lagi ngambek, itu harus diapain?"

"Rida ... lagi ngambek, ya?" tanyaku hati-hati, sekaligus menahan rasa familiar yang mulai menyesakkan dada.

Beberapa detik tidak ada respon dari cowok di sebelahku ini, hingga terjadi keheningan tak berarti. "Bukan," jawabnya yang kuyakin berbohong. "Adik sepupu gue yang ngambek."

Aku tersenyum tak sampai mata. Syukurlah, setidaknya dia tidak merusak mood pagiku. "Kasih coklat aja, siapa tau nanti dia gak ngambek lagi," saranku asal.

"Dia gak suka coklat," dengusnya. "Bilangnya, sih, takut gendut. Duh, padahal udah endut juga itu cewek," lanjut Ardi menggerutu.

Aku tidak menjawab, bingung mulai merampas pikiranku. Aku pernah tau tentang sepupunya, dulu, sewaktu kami masih kelas satu, aku pernah berkunjung ke rumahnya untuk tugas kelompok dan kebetulan sepupunya sedang di rumah.

Dia tidak gemuk seperti yang Ardi bilang. Tidak! Gadis itu masih kecil! Bahkan untuk bahasa "ngambek" pun mungkin anak kecil itu tidak mengerti.

Jadi?

40 Days Contract (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang