Bagian 2

4.6K 280 5
                                    

      "Bunda! Kuncirin rambut aku dong!"

"Kuncir sendiri aja! Bunda lagi repot, nih!"

Aku mengerucutkan bibir sebal sembari menatap cerminan diriku dari kaca. Rambutku sangat berantakan karna sedari tadi aku hanya mengacak-ngacaknya. Aku terbiasa dikuncir oleh Bunda. Katakanlah aku sangat manja disaat usiaku sudah hampir menginjak delapan belas tahun. Tapi yang harus diketahui, aku tak semanja itu. Aku hanya tak bisa menguncir rambut, oke?

Beberapa menit aku berdiam diri, akhirnya aku mendapat pencerahan juga. Kedua sudut bibirku terangkat, tersenyum sumringah. Aku bergegas mengambil sisir dan mulai menyisir dengan riang.

Rambutku tak butuh simpul cantik, hari ini. Aku akan membiarkan rambut sepunggungku tergerai.

Karna diam-diam, pikiranku melambung mundur pada masa lalu.

_____

     Pandanganku tak pernah beralih dari gerbang sekolah. Aku menatapnya tajam seolah gerbang itu adalah benda hidup yang juga sedang menatapku. Dan aku pun membayangkan demikian. Aku membayangkan, jika gerbang itu memang hidup dan juga memiliki mata, hidung, serta mulut. Dan lagi, sepertinya aku sudah gila!

Aku menepuk kepalaku gemas. Pikiran menyebalkan lagi-lagi mengangguku. Ini semua karna Ardi yang tak datang-datang. Padahal sebelum berangkat tadi, dia bilang akan berangkat lebih awal dari biasanya, entah karna alasan apa, mungkin karna ingin melihatku lebih lama. Nah, pikiran ini menggangguku lagi.

     Sudah berapa nafas yang sudah kubuang tanpa menggantinya lagi dengan oksigen baru. Aku menggangkat tangan untuk melihat jam yang melingkar indah dipergelanganku. Ternyata sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu, tapi Fardillah masih belum juga menampakan batang hidungnya.

Ya Tuhan! Ini sungguh menyebalkan! Dasar pemberi harapan palsu!

Hhh ...

Dengan langkah menghentak kesal, aku meninggalkan kursi depan lapangan dan lagi-lagi menatap tajam gerbang sekolah yang seolah sedang meleletkan lidah padaku. Masa bodoh dengan pandangan geli anak kelas dua belas yang tertuju padaku. Aku hanya kesal, dan rasanya aku ingin sekali menonjok seseorang. Siapa pun itu.

   Sesampainya aku di depan kelas, aku langsung terdiam mematung. Memandang pias ke arah seseorang yang sedang tertawa gembira bersama kawan-kawannya di kursi bagian belakang. Oh, nampaknya Ardi benar datang lebih awal, hanya saja aku yang tak sadar akan kebiasaannya yang selalu memanjat tembok belakang sekolah.

Tapi, bolehkah aku merasa kecewa? Bolehkah aku menyimpan sesak dalam dada? Dia tak terlihat mengkhawatirkanku meski aku tak ada di kelas. Apa mungkin kehadiranku sungguh tak berarti?

Sudahlah Asha, bukankah kamu sudah mau menerima resiko apa pun yang terjadi?

Aku tersenyum kecut. Ya, kali ini pikiranku benar. Aku tak akan lagi menyalahkannya atau menghujatnya karna sudah berasumsi macam-macam.

"Lo ngapain di pintu? Masuk ayo," kata seseorang di balik tubuhku, membuatku menoleh dan menyengir. Ratna ternyata.

"Iya."

Lalu aku pun mengikutinya masuk dan duduk di kursiku, tanpa mau menoleh ke arah Ardi. Entahlah, aku malas.

_____

"Mati ayam!"

     Wenda tertawa ketika merasa berhasil membuatku mengeluarkan kebiasaan jelekku saat kaget. Aku mengelus dada sembari menatapnya tajam, tapi dia malah mengeraskan suara tawanya. Benar-benar menyebalkan!

"Apaan, sih, Wenda! Gue kaget tau!" Sungutku jengkel.

Wenda pelan-pelan menghilangkan tawanya dan berganti dengan senyum sumringah. Dia kemudian memegang tanganku sebelum berkata, "Sha, gue balikan sama Uki. Dan lo tau betapa senengnya gue? Gue seneng banget!"

40 Days Contract (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang