Pagi yang suram di hari kelima belas kontrak sialan ini berjalan. Aku memandang malas ke arah bubur yang ada di atas buffet. Mendorong lebih jauh mangkuk itu dari ranjangku. Aku tidak mau makan. Tidak ada selera sama sekali. Ini pasti ulah Drian! Padahal dia tau kalau aku tidak suka bubur.
"Drian!" teriakku jengkel. Lalu bunyi langkah kaki terdengar ribut bersamaan dengan bunyi pintu terbuka. Keras, seperti didobrak. "Siapa yang naro bubur ini?" tunjukku kecut.
Kulihat Drian nyengir. "Gue. Daripada lo nggak makan sama sekali. Ya, 'kan?"
Aku merengut. Apa-apaan dia itu! Memangnya aku kenapa harus dikasih bubur segala? "Gue sehat! Dan nanti juga gue makan! Bawa jauh-jauh ini bubur!" cecarku seraya menyibak selimut, turun dari kasur sambil memegang bubur.
"Bener, ya, nanti makan?"
Memutar bola mata, memberi mangkuk padanya. "Iya! Udah sana. Gue mau mandi. Hari ini 'kan masuk sedikit lebih pagi."
____
Aku menghembuskan nafas. Sekolah lagi. Rasanya hari ini sama sekali tidak ada selera melakukan apa pun. Makan malas, sekolah malas, bahkan mandi pun malas. Lantas mau jadi apa aku ini? Padahal Bunda dan Ayah adalah orang-orang yang paling anti dengan yang namanya malas.
Apa karna mood-ku yang akhir-akhir ini kacau? Oh, ayolah, jika aku terus menyalahkan mood, lalu nanti mood akan menyalahkan siapa? Jelas-jelas di sini akulah yang terlalu terbawa perasaan. Ck! Bahasaku kacau!
"Lo ngerasa nggak, sih, kalau dua minggu terakhir ini sikap Rasha berubah? Dia jadi jarang ngumpul sama temen-temennya lagi."
Pelan-pelan aku memiringkan kepalaku, namun tidak mengangkatnya dari sela lipatan tangan. Melirik seseorang yang tadi membicarakanku.
Hasna.
"Hush! Mulut lo! Jangan kenceng-kenceng, nanti dia denger," ucap Yani memperingati. Dia melirikku, dan aku kontan langsung bersembunyi kembali. Lalu mengangkatnya lagi setelah dirasa aman.
Hasna memberengut. "Maaf," sesalnya. "Tapi, Yan, omongan gue bener, 'kan?" lanjut Hasna. Kali ini dia mengecilkan suaranya.
"Yah." Yani mendesah berat. "Mungkin iya dan mungkin enggak. Dia emang jarang kumpul sama Rianti atau yang lain. Tapi Drian selalu ada di samping dia, dan juga ... Ardi?" akhir kalimat itu terdengar ragu.
Hening sebentar, sebelum akhirnya Hasna kembali berkata, "kalau dipikir-pikir, sejak kapan Ardi sama Asha jadi sedeket itu? Perasaan gue, dulu mereka bahkan jarang ngobrol. Paling cuma sesekali mengingat sifat iseng Ardi. Janggal gak, sih?"
"Bener juga. Apa mungkin mereka pacaran?"
Deg! Sebenarnya apa yang mereka bicarakan? Ya Tuhan, sedari tadi jantungku tidak mau berdetak normal.
"Pacaran kepalamu! Ya nggak mungkin lah. Emang lo lupa kalo Ardi udah punya cewek di sekolah tetangga? Bahkan satu kelas ini udah tau kali. Dasar pikun!"
Bola mataku membesar mendengar sederetan kata yang menjadi satu kalimat sempurna itu. Sesempurna rasa sesak yang lagi dan lagi mengikat erat hatiku.
Sekarang, kenyataan macam apa ini? Hampir satu kelas tau jika Ardi sudah punya pacar? Benarkah?
Tanpa sadar, aku meremas sisi rambutku, sekuat mungkin. Ini sakit. Mengingat salah satu syarat yang ternyata berhubungan erat dengan hal ini. Syarat terakhir yang cukup menyulitkan.
Jangan sampai ada yang tau hubungan kita. Satu orang pun. Kalau sampai tersebar. Kontrak ini kandas sebelum berakhir.
Jadi, inilah alasannya. Karna semua orang sudah tau. Karna Ardi tidak mau menodai kepercayaan Rida bahwa cowok itu adalah seorang yang setia di kelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Days Contract (Complete)
Teen FictionSesungguhnya aku tidak tau arti Cinta yang sebenarnya hingga harus menempuh jalan lain yang berduri untuk kulewati, tak terpikirkan olehku bahwa ada jalan yang lebih baik menanti. Aku mengenalnya karna dia teman sekelasku. Hanya karna dia selalu men...