Aku memandang gedung pengadilan dengan sangat berat, bibirku terasa kering meski sudah kubasahi berkali-kali.
"Akhirnya hari ini dateng juga," gumamku seraya memaksakan senyum.
Detik itu, aku merasakan tanganku menghangat.
"Gue di sini, Sha," itu Drian, berkata menenangkan.
Kepalaku berputar, sama-sama mengukir senyum pedih saat sudah melihat raut wajah Drian. Apakah dia merasakannya juga?
"Lo udah izin?" Tanya Drian.
Aku menepuk dahi. "Oh, ya! Gue lupa! Bentar deh gue telpon Nia dulu."
Drian mengangguk, memperhatikanku yang sibuk mengabari teman sekelasku.
"Udah!" Putusku kemudian. Memasukkan handphone ke dalam jaket kembali, lalu memandang Drian. "Ayo, masuk?"
"Lo udah siap?"
Aku menggedikkan bahu, tersenyum lebar. "Mau nggak mau, 'kan?"
"Lo tau? Kadang gue masih merasa bersalah. Gue juga--"
"Shh ...," aku menangkup kedua pipi Drian, mengusapnya pelan sambil menggeleng kecil, "gue 'kan udah bilang kemaren, mungkin udah jalannya takdir begini, Yan."
"Tapi, gue masih pengen jadi kakak lo, Sha." Drian mengambil sebelah tanganku, menggenggamnya erat. Manik mata cowok itu menyiratkan kepedihan, membuatku iba.
"Lo tetep kakak gue, Drian."
Setelahnya, Drian tersenyum hingga menularkannya padaku.
_____
Berjam-jam berlalu, akhirnya Ayah dan Bunda telah resmi bercerai, meski jalan persidangan sedikit rumit karna penggugat adalah Bunda, tapi tetap berhasil juga, dan hak asuhku jatuh pada Bunda.
Ya, lagipula aku juga lebih menginginkan bersama Bunda.
"Sayang, kamu pulang duluan nggak apa-apa? Bunda masih ada sedikit urusan di sini."
Suara Bunda menghamburkan lamunanku. Aku mendongak, menatap Bunda yang menatapku khawatir.
Aku mengangguk. "Iya, Bunda. Aku juga capek banget mau istirahat," selorohku.
"Maafin bunda ...."
"Udah, deh, Bunda ... Aku males denger Bunda minta maaf terus." Aku cemberut seraya menepis pelan lengan Bunda dari kepalaku.
Oh, ayolah ... aku pasti akan terus menerus sedih jika Bunda setiap saat mengatakan maaf.
Senyuman terlukis di wajah letih Bunda. "Ya, udah, sana pulang."
"Iya, Bunda jaga diri di sini."
"Iya, Sayang."
Aku bangkit dari duduk santaiku di tangga depan gedung setelah memastikan punggung Bunda telah hilang dari jarak pandang, berniat mencari angkutan umum untuk segera pulang.
Tapi, baru lima langkah berjalan, suara Drian sudah memasuki gendang telingaku lagi.
"Heh, gue kira lo udah pulang sama Mama Rini," kataku begitu dia di sebelahku.
Drian tersenyum kecil bersama titik-titik keringat yang turun dari dahi. Dia habis berlari, omong-omong.
"Cuma ngomong sebentar sama Mama abis itu gue nyariin lo," ungkapnya.
Sebelah alisku terangkat. "Ngapain nyariin gue?"
"Ngajak kencan."
"Dasar sinting!"
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Days Contract (Complete)
Teen FictionSesungguhnya aku tidak tau arti Cinta yang sebenarnya hingga harus menempuh jalan lain yang berduri untuk kulewati, tak terpikirkan olehku bahwa ada jalan yang lebih baik menanti. Aku mengenalnya karna dia teman sekelasku. Hanya karna dia selalu men...