"Cewek gue itu lo, Rasha Andini," ucapnya diselingi senyum.
Beberapa detik, aku bergeming. Kemudian mencoba menetralkan pikiran dengan berkedip dua kali.
"Lo ... apa?"
Tiba-tiba saja, Drian tertawa lebar, menunjuk-nunjuk wajahku. "Lo lucu banget, sumpah! Seharusnya tadi gue foto muka cengo lo itu, Sha!"
Untuk kedua kalinya, aku ditipu Drian. Dan untuk kesekian kalinya juga, aku menabok punggung cowok itu menggunakan tenaga kuat yang memang sengaja kukumpulkan.
"Aw!" Drian mengaduh, membuat sebelah matanya menyipit. "Kejam banget, sih!"
"Bodo!" Sahutku santai.
Ekspresinya lalu berganti sumringah. Dia menyolek pipiku genit hingga aku mendelik tajam.
"Jiah, ngambek."
"Yan, gue itu nanya serius. Karna selama ini gue selalu berpikir lo itu punya perasaan khusus sama Ardi," selorohku.
Mendengar itu, mata Drian kontan membulat lucu. "Kue rangi! Enak aja gue gay. Jijik, ih!"
Aku terkekeh pelan. "Ya, makanya jawab serius."
"Gue lagi males nyari pacar," jawabnya, kembali menatap langit.
Aku bertopang dagu di pembatas balkon. "Kenapa? Apa tipe lo tinggi?" Tanyaku penasaran.
Drian terlihat berpikir, namun dengan cepat ia menggeleng. "Nggak, juga. Gue lagi males aja pacaran. Lagian pacaran itu sifatnya sementara. Ya, syukur-syukur jodoh. Kalo enggak?"
Mataku menyipit geli ke arahnya. "Gaya bicara lo seolah lo ini seorang alim ulama," candaku.
Suara tawanya mengalun lembut. "Amin. Eh, tapi gue serius. Gue lagi males pacaran."
"Oh, ya, udah. Tapi, Yan, lo bakal kena hukuman dari gue gara-gara lo kurang asin sama gue."
"Hah, kurang asin?" Sahutnya bingung.
Aku mengangguk-angguk seperti tangan boneka kucing di kedai Jepang. "Lo udah sembarangan nyium gue," jelasku.
Bukannya memasang ekspresi takut, Drian malah menyeringai. Dia bergeser mendekatiku seraya berkata, "cium lagi, ah ..."
Membuatku lantas berlari ke dalam kamar sambil berteriak heboh.
"Drian gila!!!"
"Hey! Kalian berdua jangan teriak-teriak! Udah malem! Tidur-tidur!" Dan Bunda menyahuti dari kamar lantai satu.
____
Tak terasa jarum jam cepat sekali bergerak. Matahari sudah menaiki permukaan dan menunjukkan sinarnya. Burung-burung pun dengan bahagianya menyambut kehadiran matahari oleh siulan mereka.
Di perjalanan menuju sekolah, aku sesekali merentangkan tangan sambil mengangguk ramah jika ada yang menyapaku.
Aku menoleh pada udara kosong di sebelahku. Biasanya, ada Drian di situ, tapi kali ini tidak.
Tadi pagi, Drian tiba-tiba demam. Entah karna apa, mungkin karna kelelahan latihan badminton kemarin. Dan sebenarnya aku sangat khawatir, tapi Mama juga Bunda memaksaku untuk sekolah saja.
Aish, mereka itu ....
Begitu sampai di depan komplek, aku sudah ditunggu angkot yang memang sedang ngetem. Cepat-cepat aku naik dan duduk nyaman di dekat pintu, berhubung tempat yang tersisa hanya di situ.
Jika di angkot, ini adalah tempat favorite-ku.
Setengah jam berlalu, aku sudah sampai di pertigaan arah sekolah. Mataku menerawang jalan itu. Nampak sangat jauh sekali ke sekolah. Ah, ya ampun ... aku malas jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Days Contract (Complete)
Teen FictionSesungguhnya aku tidak tau arti Cinta yang sebenarnya hingga harus menempuh jalan lain yang berduri untuk kulewati, tak terpikirkan olehku bahwa ada jalan yang lebih baik menanti. Aku mengenalnya karna dia teman sekelasku. Hanya karna dia selalu men...