Bagian 21 || H-7

2.5K 191 3
                                    

"Sha, bersihin papan tulis, noh! Bu Indri bakal ngomel kalo liat kelas masih berantakan!"

Dengan dengusan malas, aku berjalan lesu ke arah papan tulis, mengambil penghapus lalu menekan kuat-kuat seraya menggerakkannya ke kanan dan kiri.

"Yang ikhlas, lo," ucap orang itu lagi, cewek tercerewet bernama Cacha, tertawa bahagia di ambang pintu.

Cih! Mentang-mentang pekerjaannya sudah beres!

"Bacot lo, ah!" Seruku jengkel.

Cacha tertawa lalu kulihat dari sudut mata, dia berjalan menghampiriku.

"Sha?" Panggilnya. Aku berdeham. "Lo lagi ribut sama Dira?"

Mendengar nama Dira disebut, tanganku kontan terhenti, tanpa mengalihkan pandangan aku menjawab, "enggak."

"Gue tau kok," katanya lagi. "Kemarin lusa, gue liat lo sama Dira di koridor. Dia ngomongin lo, 'kan?"

Mengabaikan raut penasarannya, aku hanya mengangguk.

"Tapi, udah temenan lagi 'kan sekarang?"

"Udeh," jawabku seraya menaruh kembali penghapus papan tulis ke tempatnya. Pekerjaanku sudah rampung.

"Bagus, deh. Tapi, jujur aja gue juga nggak terlalu suka sama dia, entah kenapa. Bawaannya males aja gitu ngobrol sama Dira."

Aku meresponnya dengan tawaan kecil. "Urusan pribadi lo itu, mah," sahutku tanpa beban. "Gue duluan, ya? Mau cuci tangan."

Begitu mendapat anggukkan dari Cacha, aku segera bergegas ke luar kelas, hendak pergi ke kamar mandi. Tanganku sudah benar-benar kotor karna mengangkat sampah kelas bekas hari kemarin, ditambah lagi tinta hitam dari tulisan di papan tulis.

Namun, tepat ketika kakiku sudah berpijak di koridor kelas sebelah, mataku menangkap sosok yang sangat amat ingin kuhindari.

Drian, berdiri beberapa meter dariku, terdiam sama halnya seperti diriku. Menjadikan netraku dengan tak sopan memperhatikan penampilan cowok itu hari ini.

Tidak banyak yang mampu kutangkap. Satu hal yang kupikirkan; Drian tidaklah baik-baik saja, dia sangat berantakkan. Bisa dilihat dari caranya menyisir rambut juga wajahnya yang kusam.

"Sha?" panggilnya parau.

Aku bergeming.

Drian berjalan dua langkah ke depan, tapi aku memutuskan untuk pergi dari hadapannya.

_____

Hari ini, tidak ada Ardi di sekolah, membuat semua kegiatan yang kulakukan terasa sia-sia. Tidak adanya Ardi seperti kehilangan udara bagiku.

Kepalaku meluruh di sebuah batang pohon besar yang melindungi kursi panjang tempat aku duduk, memandang lelah lapangan yang tengah diisi oleh anak-anak basket untuk sekedar mengisi sisa waktu istirahat. Peranku di sini adalah menunggu Ardan, hendak mengembalikan jaketnya.

"Sha, gue lama, ya?" Suara itu tak lantas membuatku menoleh. Tetap bergeming namun mengangguk. "Sorry, tadi gue disuruh Pak Karim ngumpulin buku tulis fisika ke kantor."

"Santai," sahutku seraya mengulurkan kantong kertas coklat padanya. "Jaket lo. Makasih, ya," tambahku lagi, berusaha tetap tersenyum.

"Sama-sama. Dicuci 'kan, nih?"

Aku mendelik. "Ya, iyalah!" Seruku membuat Ardan tertawa.

Setelah itu, kami terjebak di antara keheningan yang diiringi hembusan angin serta teriakkan riuh beberapa penonton pertandingan basket.

40 Days Contract (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang