Hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah, wajah tenang Drian yang terlelap, di pinggir ranjang.
Mataku mengerjap dua kali, mencoba menyesuaikan temaram cahaya lampu tidur yang memasuki retina mata, kemudian memperhatikan wajah Drian lagi.
"Drian tidur di sini? Emang gak sakit apa badannya? Kenapa gak di sofa atau di kamarnya aja, sih," gerutuku sebal. Lalu berusaha untuk duduk, namun digagalkan oleh kepala Drian yang bertumpu di atas lengan kiriku. "Ya ampun ... ini cowok."
Kemudian, aku terdiam saat merasakan ada yang janggal di dahiku. Aku lantas mengangkat tangan, memeriksa dahi yang ternyata dibalut sapu tangan lembab.
Apakah aku sakit?
Ingatanku, tanpa bisa dicegah kembali pada beberapa jam lalu.
Drian dengan telaten membersihkan darah kering di sekitar lukaku, meniupnya sesekali lalu diberi obat merah hingga membuatku meringis. Tanganku dengan setia memeluk kaleng bekas wafer tango yang di dalamnya terdapat Alona. Drian yang menggantinya, untuk diriku.
Bajuku pun sudah diganti menjadi lebih santai.
"Nyungsruk di mana lo?"
"Rida sakit, Yan," lirihku untuk kesekian kalinya.
"Lo jatoh di mana, Rasha Andini?"
Air mata itu jatuh lagi, mengingat karna apa aku begini. Jatuh di tengah trotoar, sampai ditanya-tanya oleh beberapa orang di sana kala itu.
Kenapa aku menangis, kenapa aku bisa jatuh, kenapa aku malam-malam jalan sendirian, hingga rasanya aku ingin lebih menangis kencang.
"Rida sakit, Drian, lo nggak mau jenguk?"
"Perlu gue obatin?" Tanya Drian ambigu, setelah beberapa detik terdiam tanpa menjawab pertanyaanku.
"'Kan udah diobatin," sahutku, pelan.
"Hati lo," Drian menekan kapas di tangannya pada lukaku, "perlu gue obatin kayak gini?" Sambungnya.
Aku tercenung. Tangan kiriku terangkat guna menghapus air mata. "Nanti sembuh sendiri," jawabku, kemudian melanjutkan, "Rida sakit."
"Gue tau."
"Terus kenapa nggak jengukin?"
"Gue udah bilang ada yang lebih sakit di sini," seloroh Drian dengan suara kesabaran.
"Tapi, Rida 'kan mantan lo."
Drian terdengar berdecak. Dia menegakkan duduknya, melepas tangan kananku dan menatapku jengkel.
Aku bahkan lebih jengkel pada diriku sendiri.
"Ya, terus kenapa kalo Rida mantan gue?"
"Lo 'kan masih sayang sama dia."
"Gue sayangnya sama lo! Kuping lo congek, ya? Atau kepala lo ikut kebentur pas jatoh?"
Mendengar nada kesal dari Drian, Aku lantas menunduk dalam, kembali menangis dalam diam. Cengengnya aku.
"Gue nggak peduli kalo Rida sakit, karna dia bukan tanggung jawab gue lagi. Dia punya Ardi, pacarnya dan orangtuanya. Gue nggak berhak buat khawatir sama dia. Lo harusnya ngerti, dong, jangan ngasih tau hal aneh ke gue lagi."
"I-itu bukan hal aneh, Rida itu mantan lo," balasku lagi yang mana membuat Drian sepertinya semakin kesal.
"Sebenernya apa yang Ardi lakuin ke lo? Kenapa lo sekacau ini?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Days Contract (Complete)
Teen FictionSesungguhnya aku tidak tau arti Cinta yang sebenarnya hingga harus menempuh jalan lain yang berduri untuk kulewati, tak terpikirkan olehku bahwa ada jalan yang lebih baik menanti. Aku mengenalnya karna dia teman sekelasku. Hanya karna dia selalu men...