Bagian 5

3.4K 222 3
                                    


"Lo kemaren kemana? Pulang tiba-tiba gitu. Mana sama Ardan lagi," gerutu orang di sebelahku yang sukses membuatku berpikir untuk menjahit mulutnya itu. Dia terus mengoceh tanpa peduli jika kantin tengah ramai-ramainya.

Dan dengan ocehan Ardi, kantin malah terasa seperti pasar!

"Udah gitu gak ngabarin gue lagi! Emang lo gak tau kalo gue udah nge-boom LINE lo berkali-kali, tapi gak ada balesan satupun," sungutnya lagi, setelah itu mengambil es teh dan meminumnya. Dalam hati aku berdecak geli, dia haus ternyata.

Dan .. "Gue berasa kayak kambing congek yang nunggu majikan ngasih rumput tapi kagak dateng-dateng! Emang lo gak kasian sama gue? Rida aja--" Ardi berdehem lalu kembali melanjutkan, "G-gue sebagai orang ganteng, pastinya gak pernah dilecehkan begini, dong!"

Aku masih diam tidak menjawab. Tetap asik memakan mie ayamku sambil menatap sekeliling kantin karna mungkin sekiranya ada hal yang menarik perhatian. Tak berselang lama, aku merasakan pipiku ditarik cukup keras. Siapa lagi kalau bukan Ardi pelakunya.

Bocah ini benar-benar!

"Lo gak dengerin gue ngomong, ya?" tanyanya dengan tampang jengkel. Tapi tetep ganteng, kok.

Aku melepaskan tangannya dari pipiku dan menatapnya sengit. "Apaan sih, Ardi? Lo gak liat gue lagi ngapain?" aku menunjuk mie ayamku. Lalu melanjutkan, "Lagi makan 'kan? Lagian gue dengerin, kok. Cuma gak jawab aja. Soalnya gue keingetan ibu gue yang bilang kalo lagi makan gak boleh ngomong."

Ardi berdecak sambil memutar bola mata. Jengkel mungkin.

"Terserah!" serunya cukup keras. Kurasa dia marah, jadi aku dengan cepat menghambiskan mie ayamku lalu minum dan mulai memfokuskan pandangan padanya.

"Ardi, kemaren itu gue duluan karna ... Karna gue lagi gak enak badan. Boro-boro sempet ngabarin lo, sampe rumah aja gue langsung tidur," ucapku menjelaskan, harap-harap cemas takut Ardi tidak mengerti diriku. Karna yang kutau, Ardi itu sangat keras kepala.

Dia mulai balas menatapku. "Terus kenapa minta anter Ardan?" tanyanya, "Lo 'kan bisa balik ke kelas dan minta gue yang anter."

Aku terdiam. Meminta Ardi untuk mengantar pulang? Seriously? Apa yang dia katakan jika tau aku mimisan dan pening hebat. Jika Ardi akan memperhatikanku, mungkin itu akan terasa lebih baik. Namun jika tidak? Aku bahkan tidak mau membayangkan hal tersebut. Karna bisa saja, pusing dan darah yang keluar dari hidungku akan semakin banyak melihat ketidakpedulian Ardi padaku.

"Heh!" Ardi menyentakku ke alam nyata. "Kok gak jawab?"

"Gue pusing doang. Gue gak minta anter lo karna Ardan yang maksa, ya gue gak enak buat nolak orang yang dari awal udah nolong gue," jawabku seadanya, berharap Ardi tidak lagi menanyakan soal kemarin. Dan ternyata dugaanku salah.

Kulihat matanya memicing tajam dan perlahan ia mendekatkan wajahnya padaku. "Emang sebanyak apa dia nolong lo sampe ada kata 'dari awal'?"

Aku gelagapan, bingung mau menjawab apa. Kurasa aku salah memberinya kalimat. Yang harus kau tau, meskipun Ardi berada jauh di bawah peringkatku, tapi nilai pelajaran Bahasa Indonesianya sangatlah bagus. Jadi tidak heran jika ia pintar mengartikan kata-kata orang atau berkilah pada guru.

Seharusnya sebelum berkata aku mengingat satu fakta itu dulu.

"M-maksud lo apa sih? Gak usah terlalu sok ngartiin setiap kalimat orang dong," Aku berkilah.

Sebelah alis Ardi terangkat, menatapku angkuh. "Gue itu orangnya peka terhadap apapun, Asha."

Cih!

"Kenapa sama perasaan gue gak pernah peka?"

Seusai perkataanku tadi, wajahnya lagi-lagi mengalami perubahan seperti kemarin saat aku menanyakan perihal yang sama. Datar dan entah apa lagi.

40 Days Contract (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang