3. ʜᴀʀɪ ᴩᴇʀᴛᴀᴍᴀ

10 1 0
                                    

"Tidak peduli seberapa keras hidup saya,
Saya selalu melihat ke langit dan berharap untuk hal-hal yang baik"
- Mahira Khan -

Kelas dengan nuansa klasik modern dengan jumlah kursi dan meja sekitar lima belas tertata rapi.

Sepuluh menit sebelum aku memasuki ruangan ber-cat putih-coklat ini aku lebih dulu pergi ke ruang kepala sekolah untuk bertanya denah letak kelas ku berada, seorang siswi dengan rambut coklat panjang sedikit bergelombang menjemputmu dan membawaku kesebuah kelas yang di atas pintunya terdapat papan yang bertuliskan 9A. Ya, itu kelasku.

Di bantu seorang guru laki-laki berusia sekitar tiga puluhan memperkenalkan diri ku kepada-yang sebentar lagi-akan menjadi teman sekelas ku.

Teman...

Semoga?...

Tapi mereka semua seakan melihatku dengan tatapan seperti.. entahlah, mungkin karena aku murid baru disini jadi mereka menatapku begitu.

Kini aku duduk di sebuah kursi yang terletak di tepi dekat jendela, sebuah pena berwarna hitam sedari tadi ku mainkan dengan mengetuk-ngetuknya ke atas buku tulis ku. Aku sedikit tidak fokus pada penjelasan guru di depan yang sedang menulis tentang mapel sejarah sebab seorang anak lelaki di seberang belakang ku terus menatap ku dengan tatapan tajamnya. Aku tak menoleh ke belakang, hanya melihatnya dari sudut mata ku yang berwarna hitam ke biruan.

Saat aku berdiri di depan kelas tadi juga aku melihatnya, sepertinya dia adalah anak yang.. nakal?

Dengan dua kancing seragam yang terbuka serta dasi tosca yang talinya di longgarkan, tak lupa cara duduknya yang bersender pada kepala kursi dengan tangan yang dilipat menyilang di pinggangnya, kaki jenjangnya ia selonjorkan berbeda dengan murid lainnya yang nyaris duduk rapi bak bala tentara perang.

Pancaran sinar matahari pagi menembus kaca jendela yang ada di samping kanan ku, rasanya begitu hangat juga sejuk dengan embun paginya, warna biru muda mendominasi langit pagi ini.

Indah..

Bel istirahat berbunyi setelah beberapa saat kami belajar, sekarang jam menunjukkan pukul 09.30.
Aku berjalan hendak keluar kelas namun seseorang dengan gerakan secepat kilat melesat menghalangi ku di depan pintu.

Aku menatapnya dengan tatapan datar

Itu anak lelaki tadi

"Siapa nama mu?" Tanyanya sembari melipat kedua tangannya.

Aku mengernyit "bukankah tadi aku sudah memperkenalkan diri pada kalian di depan kelas" aku juga ikut menyilang kan kedua lenganku.

"Kamu pikir aku sebegitu peduli sehingga dengan antusias mendengar cerita membosankan mu tadi?" Anak itu menatapku tajam.

"Lantas kengapa kamu malah menanyakannya sekarang, katanya tidak peduli" aku menaikkan sebelas alisku dengan berkata sedikit ketus.

Anak lelaki itu menggeram tertahan, rahangnya mengeras namun ia berusaha untuk menutupinya "kamu hanya perlu menjawab, siapa namamu!?".

Aku menghela napas sebelum akhirnya berujar "Azura"

Anak itu mengangguk puas dengan semyuman smirk di wajahnya.

Aku memutar bola mata malas anak ini sungguh membuang waktu istirahatku dengan kelakuan biadap yang ia lakukan "lanjutkan"

"Kamu ingin masuk ke ekskul apa?" Dia bertanya dengan nada yang teratur tidak seperti tadi.

"Apa pedulinya bagi mu?!" Aku sedikit emosi menanggapinya, jika bukan murid baru di sini mungkin aku sudah terlebih dulu mendorongnya hingga tersungkur ke lantai, ku pikir anak-anak di desa akan memiliki atitude yang baik dan sopan, nyatanya tidak pada bocah ini.

"Sebagai ketua kelas yang baik aku di tugaskan untuk mengurus segala program-program sekolah untuk anak baru sepertimu, termasuk ekskul".

Apa? Ketua kelas?

Yang benar saja. Ayo lah, lelaki seperti dirinya menjadi ketua kelas. Apa murid di kelas ini tidak salah pilih, atau hanya aku yang tidak tau sisi lain dari bocah tengik di depan ku ini?

"Aku pandai dalam bidang musik"

Wajahnya tampak sedikit menunjukkan antusias ketika mendengar aku berucap tentang 'musik'

"Kebetulan sekali kami sedang mencari satu anggota lagi agar terbentuk sebuah club musik"

"Berapa anggota di club itu?" Aku bertanya dengan alis sedikit terangkat.

"Baru dua, tiga tambah kamu" ia mengangkat jari nya membentuk angka dua kemudian di ubah menjadi tiga.

Aku mengernyit "ku pikir club musik akan banyak peminatnya" tidak sesuai ekspektasi ku, ternyata selera mereka tidak sama dengan kebanyakan anak di kota.

"Tidak,tidak, club musik Memang banyak peminatnya namun hanya sebatas hobi bukan keahlian, jadi aku mengeluarkan mereka" jelas nya. Dasar tidak tau diri, memangnya dia sangat berbakat sampai setega itu pada yang lain?. Dengan seenaknya dia mengeluarkan murid-murid lain yang ingin bergabung hanya karna mereka tidak pandai, bukankah tujuan adanya ekskul untuk mengasah bakat siswa?

"Siapa orang yang satunya lagi?" Entahlah aku jadi banyak bertanya seperti ini, tidak ada salahnya kan?

Dia tertawa kecil "nanti juga kamu bakal tau"

"Kamu belum tau bahwa aku ahli atau tidak nya dalam musik lantas mengapa kamu dengan mudahnya menerima ku sebagai anggota ke tiga?".



Azura

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Azura

Emang sengaja nyari wajahnya yg ketutup 🐥, jadi selamat berimajinasi..

Eh eh eh itu... Si cowo itu....

Jangan menduga-duga, karna peluang untuk salah lebih besar HAHAHA //ketawa setan//

Azura 🍄

Universe SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang