"Langit adalah film yang tak terbatas bagiku. Aku tidak pernah bosan melihat apa yang terjadi di sana."
-KD Lang-•
•
★•°
"Sejak kapan kamu bawa teleskop?" aku melirik Atlas yang tengah mengutak-atik benda teropong berwarna hitam itu. Suhu tubuh ku sudah tidak sepanas tadi pagi, sekarang aku sedikit membaik berkat bantuan Anak itu tentunya--yang rela datang pagi-pagi untuk menjenguk dan merawatku, bahkan menemaniku untuk melihat bintang menggunakan teleskop miliknya sambil menunggu jadwal gerhana bulan di wilayah kami.
"Sejak tadi pagi lah"
"Aku tidak melihatnya"
"Ya karna kamu tidak peka!" ucapnya masih fokus pada benda itu, sebelah matanya mulai masuk pada lubang kecil di teleskop itu dan mengarahkannya keatas--lebih tepatnya ke arah langit.
Aku mendelik tajam ketika dia menoleh padaku, hanya cengiran khasnya yang ia tujukan. Tangannya mengayun ke arahku agar aku menghampirinya.
Ya, sedari tadi aku hanya duduk di sofa yang terletak di ujung balkon kamarku. Dia yang menyuruhku sembari menunggunya yang sedang sibuk pada benda itu, lelaki itu juga sudah menyiapkan sepiring biskuit dan dua cangkir coklat hangat.
Aku mendekat ke arahnya, memperhatikan beberapa tombol yang terdapat pada teleskop--yang sama sekali tidak ku mengerti.
Aku mulai mendekatkan wajahku pada ujung teropongnya, memejamkan sebelah mata dan sebelah lainnya ku tempelkan pada lobang lingkaran itu.
"Aku ingin lihat bintang sirius" mintaku dengan nada yang entah bagaimana bisa terdengar seperti rengekan, ini memalukan. Di bantu dengan Atlas akhirnya aku menemukan bintang paling terang yang selalu membuatku terpukau, namun ada satu hal yang membuatku gelisah.
Atlas-- lelaki itu.. Seperti sedang memelukku dari belakang ketika ia membantuku mengarahkan teleskop untuk mencari bintang. Entah sengaja atau memang harus begitu posisinya aku tidak tau, yang jelas itu benar-benar di luar prediksi ku. Ku pikir ia akan menyuruhku menepi sebentar kemudian dia yang beralih pada lubang teleskop itu untuk mencari bintang yang ku inginkan, tapi sekali lagi, itu benar-benar di luar dugaanku.
"Suhu tubuh mu kok panas lagi?" tanya nya ketika ia menggenggam lengan kiriku, aku menepisnya pelan. Ingin rasanya aku berteriak 'ini panas gara-gara dirimu Atlas! Siapa suruh memelukku dari belakang!'
Tapi itu mustahil, jika aku mengatakannya sudah pasti sebuah raut menyebalkan di wajahnya akan muncul menggantikan raut polosnya sskarang.
Anak itu mengerutkan kedua alisnya "mau istirahat di kamar? Kamu lihat gerhana dari pintu kaca balkon aja"
Aku menggeleng sembari menahan tawa, raut khawatirnya membuat wajah polosnya semakin lucu. "Tidak, aku sudah baikan"
"Tapi--"
"Aku sehat Atlas" ucap ku sedikit gemas karna dia terus saja memaksa ku untuk istirahat, ku raih saja tangannya untuk ku tempelkan pada dahi ku yang memang sudah tidak panas lagi. Apa dia begitu mengkhawatirkan ku?
Aku jadi teringat ibu, apa.. Dia benar-benar berada di atas sana bersama para bintang? Bisa kenalkan aku dengan semua bintang di langit satu persatu? Jika memang dia ada di sana memperhatikan ku, apakah ibu tidak ingin kembali ke bumi untuk menyembuhkan sakit batin yang ku alami?
Mata ku mulai memburam, ketika membayang kan ibu pasti aku selalu ingin menangis. Aku tidak bisa melupakannya, karna semestinya memang aku tidak boleh melupakan malaikat tak bersayap itu.
Aku sangat mencintainya seluas jagat raya, aku mencintainya seumur hidup bahkan ketika aku tiadapun aku ingin selalu terus mencintainya.
Bulir-bulir itu mulai berjatuhan, aku menunduk tak berani menatap wajah lelaki itu. Aku tidak ingin menangis di hadapannya, juga di hadapan ibu dan para bintang.
Aku tidak mau.
Atlas merendahkan sedikit tubuhnya yang lebih tinggi dariku--menyejajarkan tinggi nya agar bisa melihat wajahku yang tertekuk. Sebelah tangannya menyentuh bahuku, mengusapnya pelan. "Aku tau itu berat, tapi kamu harus bisa merelakan"
Kenapa Atlas selalu bisa membaca isi pikiranku, bahkan tadi kami masih membahas tentang sakitku yang sudah sembuh. Bagaimana bisa dia menyadari bahwa aku sedang memikirkan ibu?
"Bagaimana aku bisa merelakan seseorang yang menjadi satu-satunya harapan untukku hidup, Atlas"
Tangisan ku pecah, aku tidak sanggup menahan semua sesak yang sudah menumpuk. Itu akan sangat menyakitkan bila terus di cegah untuknya keluar.
Lelaki itu menarik dagu ku untuk mendongak menatapnya, kedua tangannya menggenggam erat telapak tanganku seolah berusaha memberikan energi agar aku lebih tegar.
"Aku akan menggantikannya, jadikan aku satu-satunya harapan mu untuk hidup di dunia ini"
•••
Atlas mengajakku duduk di sofa balkon, sesekali aku mengecek ponsel untuk melihat jam. Melihatku yang tidak sabar akan kedatangan gerhana, lelaki itu menyuruhku untuk tidak terlalu menunggunya.
"Ada banyak hal yang bisa kita lihat selain gerhana, nikmati saja langit malam dengan bintang sebelum gelap gulita" begitu lah katanya.
Aku menyandarkan kepalaku pada bahu tegapnya, jujur mataku masih bengkak dan merah akibat menangis tadi, bahkan suaraku masih terdengar seperti orang yang tersedak makanan.
Kata-katanya terus terngiang-ngiang dalam benakku, 'Jadikan aku satu-satunya harapan mu untuk hidup di dunia ini'
Aku tidak tau apakah dia benar-benar serius dengan ucapannya atau hanya sekedar untuk membuat tangisku reda, bukannya aku tidak mempercayainya hanya saja aku masih tidak yakin dengan diriku sendiri.
Apakah aku bisa menjadikannya harapanku?
"Jika kamu akan menjadi harapan ku untuk hidup, kamu harus berjanji akan selalu ada bersamaku dan tidak akan pergi meninggalkanku. Kemanapun itu"
•
•
•
Azura 🦢
KAMU SEDANG MEMBACA
Universe Sky
Fantasy"Ketika Langit mempertemukan kita di langit fajar dan mengakhirinya pada langit senja" "Aku pecinta Langit biru, dan kamu pecinta Langit malam" hanya di saat matahari terbit dan terbenam kita bisa bertemu bercerita tentang Langit tertawa bersama alu...