37. ᴋᴏʟᴇʀᴀꜱɪ ʙᴇʀꜱᴀᴛᴜ & ʙᴇʀᴛᴇᴍᴜ

0 0 0
                                    

"Karna katanya, jika ingin menyembuhkan luka, harus di lukai lebih dalam lagi"

"Jika di ibaratkan dengan bintang, mungkin kamu akan berperan sebagai Vega dari rasi Lyra dan aku sebagai Altair dari rasi Aquila" setelah mengatakan itu Atlas tersenyum simpul di balik pundakku, masih pada posisi yang sama, aku yang berdiri kaku dan Atlas yang sedikit membungkukkan tubuhnya dan mengandarkan dagunya di atas bahuku.

"Dan seseorang lainnya berperan sebagai bintang deneb, tapi mungkin kisah kita akan sedikit berbeda" lelaki itu menghela nafas. Oh ya ampun, bahkan hembusannya menerpa kulit leherku. Aku masih terdiam kaku di dekat meja, sekarang aku tidak bisa mendengar musiknya karna telingaku sudah di tutup oleh tangan-tangan misterius yang transparan.

"Lalu, ada apa dengan kisah bintang Altair dan Vega?" nafas ku tercekat, tidak bisa menahan sesak yang terus menghambat pernafasanku.

Atlas terkekeh pelan "kapan-kapan akan aku ceritakan," lelaki itu menjeda ucapannya "Mau berdansa?"

Lagi, aku kembali terdiam.

Lelaki itu mengangkat dagu nya dan kembali berdiri tegap, ia membalik tubuhku dan menatap lekat manik mata biru ini.

Rasanya seperti ada angin sepoi-sepoi yang menerpa tatkala mata kami saling bertemu, --seperti bintang yang saling bertemu dan akan hancur-- buru-buru aku mengalihkan pandang dari iris berkilau miliknya sebelum terjadi hal yang sama seperti bintang itu.

Atlas meraih tangan kiri ku, mengaitkan jari jemarinya dengan milikku. Mengangkatnya perlahan hingga sejajar dengan telinga, tangan kiri lelaki itu melingkar di pinggang ku yang sedang mengenakan dress putih selutut. Jarak di antara kami semakin menipis, dan itu benar-benar membuatku ingin mati.

Dengan sedikit kaku, aku mulai mengangkat sebelah tanganku yang lainnya untuk menggantung di pundak Atlas. Kemudian lelaki itu membawa ku ketengah ruangan hingga kaki kami berpijak pada sebuah karpet bundar berwarna coklat.

Alunan musik masih senantiasa mengiringi kecanggungan ini, atau hanya aku yang merasa canggung?

Seperti yang ku bilang tadi, aku benar-benar tidak bisa mendengar musiknya. Aku di tulikan oleh kata-kata Atlas tadi yang masih terngiang-ngiang di telingaku, oh malaikat yang baik hati, selamatkan aku.

Atlas mulai menggerakkan kakinya mengikuti tempo musik, dan aku yang mengikuti pergerakan kakinya. Semua benar-benar terasa memalukan, tapi.. Bukannya di sini hanya ada kami berdua? Tidak ada yang menonton pertunjukan dansa konyol ini kan?

Tidak, di sini bukan hanya ada aku dan Atlas. Ada banyak makhluk lain yang nelihatnya, mungkin kah malaikat? Atau iblis? Peri? Atau jangan-jangan arwah transparan yang melayang-layang?

Lupakan! Lupakan semuanya!

Telingaku mulai bisa mendengar suara musiknya perlahan, nafasku juga sudah kembali teratur. Dan itu semua karna pembawaan Atlas yang tenang, aku yang mulai terbiasa dengan gerakan dansanya mulai bergerak dengan tenang dan tidak kaku.

Sekali lagi.

Atlas selalu punya seribu cara untuk membuatku tenang dan nyaman berada di dekatnya.

"Menurutmu,apakah bulan dan matahari bisa bersatu?" Atlas membuka suara di sela-sela keheningan itu.

Aku mengangguk "mereka akan bertemu ketika terjadi gerhana matahari"

"Ada perbedaan antara bersatu dan bertemu"

Aku terdiam, masih menunggu rangkaian kalimat selanjutnya.

"Mereka memang akan bertemu di saat gerhana matahari, tapi semesta seolah menolak mereka. Di kala bulan dan matahari di pertemukan, mereka menjadikan salah satu bagian bumi menjadi titik paling gelap. Jadi untuk menghilang kan kegelapan itu mereka harus berpisah kembali"

Aku berusaha mencerna kalimatnya, "lalu ketika gerhana bulan tiba, bumi akan menjadi penghalang antara bulan dan matahari?" aku bertanya.

Atlas mengangguk "bumi seolah menjadi penghambat cinta mereka ya" lelaki itu menunduk menatap sepatu kami yang saling berbunyi akibat hentakan terhadap karpet, kami masih berdansa.

"Jadi.. Bulan dan matahari tidak akan pernah bersatu?" aku kembali bertanya.

"Ya, mereka hanya di takdirkan untuk bertemu"

•••

M

alam ini terasa begitu tenang, setelah berdansa tadi Atlas mengantarkan ku ke depan kamar untuk tidur. Sepertinya dia juga sudah pergi kekamar ibu, aku tidak pernah sanggup untuk menapakkan kaki di sana.

Ah, sudah lah.

Aku teringat akan ucapan Atlas tadi, kenapa aku berperan sebagai bintang vega?

Bukannya bulan lebih cocok jadi Vega, dan matahari sebagai Altair, sedangkan bumi sebagai deneb. Jujur saja aku masih bingung tentang kisah yang Atlas maksud, apa itu tentang cinta segitiga? Atau kisah tentang persahabatan?

Atlas..

Kenapa sifatnya terus berubah sewaktu-waktu?

Dia dapat bersikap dingin, tenang, dewasa. Tapi juga dapat berubah menjadi ceria, kekanak-kanakan, dan sering bercanda. Kadang aku bingung, sebenarnya.. Yang mana sifat aslinya?

Tidak mungkin itu semua menjadi sifatnya, keduanya bertolak belakang. Pasti ada yang di rahasiakan dari ku, aku semakin yakin.

Azura 🕺🏻💃🏻

Universe SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang