14. ʜɪꜱ ɴᴀᴍᴇ

4 1 0
                                    

"Di seberang lautan angkasa, bintang-bintang adalah matahari lain."
- Carl Sagan-

Sore itu aku benar-benar datang tepat waktu, sudah sekitar lima menit aku duduk di bangku halte menunggu kedatangan anak laki-laki itu.

Dari kejauhan tampak seseorang dengan topi coklat sedang mengayuh sepeda ke arahku, seulas senyum tersampir di wajahku kala melihat seseorang itu. Aku berdiri menghampirinya, ia masih dengan posisi di atas sepeda "ayo, naik"

"Ini sepeda mu?" aku mengangkat sebelah alis.

Anak itu tampak bingung, "tentu saja, kamu pikir punya siapa?" ia terkekeh geli mendengar pertanyaan konyol ku, lelaki itu tidak se-pendiam yang ku bayangkan saat pertama kali melihatnya, ternyata dia bisa bersikap humoris juga.

"Tapi kamu selalu naik bus, kenapa tidak bersepeda saja. Lagian jarak dari rumah mu ke sini tidak terlalu jauh bukan?" tanyaku sambil menaiki sepeda dan duduk di kursi belakang, aku berpegangan pada pundaknya ketika anak itu mulai melajukan sepedanya.

Aku membayangkan jarak dari halte kedua tempat anak itu menaiki bus, kira-kira jaraknya hanya berkisar sekitar lima belas menit, lalu kenapa dia tidak naik sepeda saja?

"Itu karena, aku ingin bertemu dengan mu!"

"Aku serius!"

"Rumahku sedikit jauh halte, jika di tempuh dengan sepeda menghabiskan banyak waktu,"

"Lagian sepeda ini cuma buat jalan-jalan daerah sekitar sini saja" lanjutnya.

Terjadi keheningan di antara kami, sampai akhirnya aku mengajukan pertanyaan lagi "lalu kita akan pergi kemana, apa masih jauh?"

DUK!

Sepeda yang kami naiki tersandung genangan hujan di tepi jalan mengakibatkan kaus kaki putihku sedikit terkena bercak kecoklatan, "uh, maaf" lelaki itu menghentikan kayuhan sepedanya dan menoleh kebelakang.

"Sepatu dan kaus kaki mu kotor, bagimana?"

Aku tertawa, mencoba untuk bersikap seakan-akan tidak terjadi apapun. Lagian aku tidak masalah jika kotor, tinggal di cuci saja.

"Tidak apa-apa, lanjutkan saja, jangan di permasalahkan" aku tersenyum mencoba untuk meyakinkan, tampak raut bersalah dari mimik wajahnya. Aku menepuk pundaknya kemudian membetulkan posisi dudukku "tidak masalah, muka mu jangan begitu" aku tertawa melihat kedua alisnya tertaut masih dengan wajah panik.

Lelaki itu melanjutkan perjalanannya menuju 'tempat itu' , aku tidak tau tempat apa yang dia maksud, ku harap bukan tempat yang menyeramkan dengan hantu-hantu yang berkeliaran.

"Kamu tau tidak mengapa langit tampak cerah sore ini?" anak itu bertanya, aku mendongak menatap cakrawala yang masih disinari langit biru.

"Tidak, memang kenapa?"

"Aku juga tidak tau, makanya aku bertanya" anak itu tampak terbahak setelah mengucapkannya, aku hanya bisa menepuk bahunya dan menghela nafas gusar.

Angin sepoi-sepoi membersamai kami sore itu, padang padi di tepi jalan bergoyang-goyang mengikuti arah angin, sore masih tampak cerah dengan siluet sinar matahari senja.

"Nama kamu siapa?" aku bertanya, kali ini aku harus mendesaknya agar menjawab.

Tidak ada tanda-tanda ia akan menjawab sampai akhirnya sepeda berhenti di depan semak-semak rumput. "Ikuti aku" ia turun dari sepeda dan menuntun ku untuk ikut serta berjalan, ia masuk lewat celah semak itu dan sebuah taman dengan hamparan rumput hijaunya menyambut kedatangan kami.

Universe SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang