"Pergi ke Jogja naik pesawat."
"Cakep!"
"Mama lagi gak pantun PAPA!" Lin agak kesal.
"Terus mama ngapain?"
"Cuma salto dalem mobil kok Pa."
"Ohh."
"Ya lagi jawab telpon." Dia menunjuk ponsel yang masih tersambung dengan telepon. Salim pun terkekeh.
Naren beserta kedua orangtuanya berangkat ke Yogyakarta menaiki jet pribadi. Mereka turun di Bandara Adi Sucipto dilanjut menaiki kendaraan darat menuju pesantren yang ada di daerah Sleman. Selama di dalam mobil Naren hanya memainkan Ipad melihat proposal dari beberapa start-up karya anak bangsa yang mengajukan diri agar ia menjadi investor.
"Fokus dong Ren. Sempet sempetnya mau ketemu calon istri kok masih kerja," tegur sang mama yang duduk di sampingnya. "Jangan sampai nanti istrimu kesepian gara-gara kamu kerja terus ya!"
"Ini berkasnya penting Ma. Aku cuma manfaatin waktu aja."
"Jogja itu indah loh Ren. Lihat deh itu ke luar jendela." Lin—mama Naren—menunjuk delman yang berjejer rapi.
"Indahan juga New York, Chichago, London, Paris, atau Sydney Ma."
"Ini nih gara-gara Papa biarin Naren kuliah di luar negeri jadi rasa cinta tanah airnya pudar." Lin menyalahkan suaminya.
"Iya iya Papa salah. Makanya ini Papa mau menebus kesalahan dengan menetapkan istri yang baik untuk dia."
"Anindita itu kalau lihat Naren bakal batalin gak ya Pa? Narennya aja gak punya sopan santun gini."
Dibicarakan oleh papa mama, tidak membuat Naren terusik. Baginya sudah makanan sehari-hari mendapat cecaran dari keduanya.
"Naren itu Ma kalau udah ketemu langsung sama Anindita pasti juga terbang cinta." Papa yang ada di samping kemudi sangat yakin. Sekarang dia mencari pembenarkan kepada supir taksi online VIP. "Benar kan Pak Ris?"
"Betul Pak. Ning Anin itu terkenal dengan kecantikannya dan suka jadi rebutan anak kyai juga. Dari SD saja sudah banyak yang ingin menjadikan menantu maupun istri. Tapi Abah Kyai Zubair berbeda dengan kyai lain. Beliau itu tidak pernah menjodohkan anak-anaknya."
"Ini juga bukan perjodohan kok Pak." Salim meklarifikasi.
"Tapi pemaksaan," kata Naren. "Saya dipaksa nikah sama perempuan yang tidak saya cintai."
"Ini juga demi kebaikan kamu. Lagipula sebulan lalu kukuh gak mau menikah dengan Anin meskipun seluruh harta warisan buat kamu. Nyatanya begitu tahu biografi Anin, jatuh hati juga."
"Sebenarnya buk—" Kalimat Naren terpotong. Dia menelan kembali kata-kata yang ingin dilontarkan. Dia pun semakin yakin kalau cukup dia saja yang menyimpan rahasia rapat-rapat. Orang tuanya tidak perlu tahu.
"Udah-udah. Gak usah ribut terus dong, mama pusing dengerinnya." Mama Lin mengambilkan sarung dan peci "Pake Al!"
"Ini apa?"
"Baju koko, peci, sama sarung."
"Gak Ma! Kampungan banget baju kayak gini."
"Mau mama yang pakein?" Lin mendelik.
"Iya iya." Naren pindah ke kursi belakang yang lebih luas. Dia pun dengan cepat berganti pakaian.
Tak lama mobil sewaan keluarga Naren memasukin kawasan pondok pesantren. Tampak santri berlalu lalang. Naren mengerutkan dahi, suasana itu terasa asing baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji yang Ternoda [Lengkap]
SpiritualPernikahan terpaksa itu terjadi bukan karena perjodohan. Bukan juga karena cinta. Semua itu karena ada rahasia. "Gue gak pernah anggap pernikahan ini berharga. Pernikahan impian? Itu cuma halu. Gue gak akan cinta sama lo sampai kiamat." Pernikahan...