"Mas gimana menurut kamu kalau aku kuliah?"
Anin melihat daily vlog seorang mahasiswi di sosial media. Sudah beberapa hari ini dia melihat a day in my live serta vlog nugas para mahasiswa. Melihat kegiatan mereka membuat Anin teringat mimpinya yang kandas karena tidak lolos beasiswa ke Mesir.
"Boleh tapi nanti habis melahirkan." Naren sesekali melirik kaca spion, hendak mengambil jalur kanan.
"Apa enggak kelamaan?"
"Percuma kalau daftar sekarang. Mulai pembelajaran itu tahun depan bertepatan dengan semester ganjil. Memangnya mau kuliah di mana?"
Anin menaikkan bahunya tidak tahu. Selain Kairo, dia tidak punya kampus impian.
"Kamu udah ada rencana mau ambil program studi apa?"
"Tafsir Quran," jawab Anin cepat. Senyumnya merekah. Pasti sudah lama dia mengincar prodi tersebut.
Memang beda. Naren kira Anin akan mengambil program sains atau ekonomi.
"Oh ... Kalau itu sih bisa di Universitas Islam Negeri, but wait ... " Naren memberi jeda, "jangan deh. Jangan di sana!"
"Kenapa? Kenapa gak boleh di kampus negeri?"
"Bagaimana kalau kamu masuk kuliahnya 10 tahun lagi aja?"
"Keburu tua Mas."
"Banyak cowok seumuran kamu. Bahaya. Lebih baik di kelas yang sambil kerja saja isinya yang sudah berumur."
Anin cemberut. "Tapi kan aku maunya yang kayak gini." Dia menunjukkan kampus reguler yang memiliki banyak kegiatan. Kampus sang creator yang Anin tonton di ponselnya.
Naren mulai gusar. "Sayang itu ribet loh. Kamu gak tau beratnya tekanan dunia kuliah. Tugasnya banyak, terus itu lingkungannya gak ok." Aslinya ya ok aja, Naren saja terlalu takut ditikung.
"Bukannya aku sombong, cuma ... apa kamu lupa Mas aku itu lulusan pondok pesantren yang dari pagi ke pagi udah ditentukan jadwalnya. Dalam sehari berapa ayat, nadhom, hadist, dan tugas yang aku kerjakan? Banyak! Belum gitu masih nyuci sendiri, bersih-bersih, jemur, setrika baju. Itu baru yang umum. Padahal aku dulu pengurus yang harus mengurus santri lain dan mengerjakan program kerja. Kalau kuliah itu kan gak terlalu banyak jadwal pelajarannya, kan?"
Naren hanya bisa menelan ludah. Bingung harus merespon seperti apa. "Ya iya. Tapi nanti kamu harus izin aku kalau ikut organisasi."
"Jelas. Keluar rumah aja aku izin apalagi soal beginian." Jeda sebentar. "Berarti kamu izinin aku kuliahkan Mas?"
"Izinin cuma ... harusnya gak usah di kampus negeri. Kampus terbuka aja gimana? Atau swasta ikut program yang beberapa artis ikuti. Itu gak perlu datang setiap hari bahkan ada yang bisa online."
"Harusnya kamu dukung minat aku dong Mas. Bukannya kayak gitu. Terus kamu takut aku digodain cowok? Kamu gak percaya sama aku? Kamu kira aku cewek hobi selingkuh?" Emosi Anin meluap-luap.
"Enggak gitu Sayang. Aku cuma khawatir aja."
"Terserah ah! Males!"
"Loh kok jadi marah? Jangan marah dong!"
"Kamu ngeselin."
"Kenapa kamu jadi kayak anak-anak gini? Masak cuma begitu ngambek."
"Oh jadi sekarang bilang aku anak-anak? Kenapa gak bilang sekalian kalo aku ini bayi? Siapa tahu bisa dapet susu gratis!"
"Enggak kok enggak. Maaf aku salah. Aku yang kayak anak kecil."
"Tau ah! Terserah!"
"Udah dong marahnya. Lihat tuh ada badut lucu." Naren menunjuk badut yang mengamen di persimpangan jalan lampu lalu lintas. Di akhir kalimat Naren ada satu kekehan kecil. Menggemaskan sekali melihat Anin cemberut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji yang Ternoda [Lengkap]
EspiritualPernikahan terpaksa itu terjadi bukan karena perjodohan. Bukan juga karena cinta. Semua itu karena ada rahasia. "Gue gak pernah anggap pernikahan ini berharga. Pernikahan impian? Itu cuma halu. Gue gak akan cinta sama lo sampai kiamat." Pernikahan...