Bab 27 - Tanpa Kabar

64.4K 4.4K 561
                                    

Sering kali manusia enggan merasakan pahitnya hidup, padahal manis itu ada karena ada pahit. Gelap itu ada karena ada terang. Senang itu ada karena ada sedih. Semua sudah diatur sedemikian rupa oleh Yang Maha Meciptakan.

Jika jalan itu lurus terus, manusia tidak akan tahu serunya menaiki pegunungan lalu melihat keindahan dari ketinggian. Kalau tidak ada jalanan turun, manusia tidak akan merasakan angin pantai serta deburan ombak yang menenangkan. Kalau tidak ada terjal, tidak akan merasakan nikmatnya jalanan mulus aspal. Semua rasa yang ada di bumi ini sudah ditakar oleh Yang Maha Membolakbalikkan Hati.

Seperti rasa pahit yang sekarang Anin hadapi. Sekarang dia tidak tahu hal indah apa di kemudian hari yang akan membuatnya berterima kasih karena sudah ada hari ini. Memang jalannya seperti ini yang harus dijalani. Anin akan berusaha menerimanya; menelan rasa pahit, menikmati setiap sakit, melewati masa sulit, melalui jalanan sempit. Tak apa. Tuhannya adalah Allah Yang Maha Memberi Kemudahan.

Mungkit saat sendu itu datang, pertanda Allah mulai rindu. Merindukan waktu-waktu di mana malam menjadi syahdu saat seorang hamba mengadu pada Tuhan-Nya. Merindukan nama-nama-Nya yang selalu dipuja dalam lantunan Asmaul Husna. Merindukan dimana Dia menjadi sandaran satu-satunya. Tuhan tak boleh diduakan. Tidak boleh juga diabaikan. Meskipun sejatinya, beribadah atau tidaknya manusia tidak berefek kepada Kekuatan Tuhan. Dia akan tetap Kuasa, baik seluruh manusia di muka bumi menyekutukan atau beriman kepada-Nya.

"Nduk, jangan ngalamun!"

Anin tersenyum menyambut kedatangan uminya di balkon rumah. "Anin ndak ngalamun, Umi."

"Pasti kangen ya sama suamimu?" goda Umi yang dibalas kekehan oleh Anin.

Sudah seminggu sejak kejadian perdebatan malam itu. Seminggu sudah Anin pulang ke Jogja.

"Kamu kalau mau pulang ke Jakarta ndak apa-apa. Biarlah abahmu dijaga Umi sama Mbak Rikha dan Masmu. Ada santri juga yang bisa menjaga."

Alasan Anin pulang ke Yogyakarta bukanlah ingin kabur dari masalah, melainkan dia mendapat kabar Abahnya masuk rumah sakit. Sakit jantung membuat dokter merekomendasikan abahnya untuk operasi.

Tujuh hari sejak hari itu Anin mengabaikan semua pesan maupun panggilan dari Naren. Entahlah, Anin masih kecewa. Benar memang jika terlalu berharap kepada manusia buahnya adalah kecewa. Anin tidak berhati-hati dalam berharap.

"Enggak Umi. Anin masih pengen di Jogja."

"Terus suami kamu siapa yang rawat di sana? Ingat Nduk, hormat sama suami itu juga pahala."

Anin tidak menceritakan masalahnya kepada siapapun. Sejak dulu memang Anin selalu memendam sendiri. Mengadukan pada Allah yang paling dia percaya.

"Mas Naren lagi sibuk sama perusahaannya. Kayaknya ada masalah gitu. Kalau Anin di sana malah nanti repotin."

"Mana ada repotin? Yang ada Naren itu sepulang kerja bisa hilang rasa capeknya kalau lihat istri cantik kayak kamu."

"Iya kah Mi?" Anin tidak yakin. Naren sering memandangnya tidak suka dan menanggapi pertanyaannya dengan kekesalan.

"Iya dong."

Keduanya tersenyum. Anin kagum dengan umi yang tegar. Wanita itu masih bisa tersenyum meski Anin sering melihat uminya sering menangis setelah solat.

"Jadi kapan kamu mau pulang ke Jakarta? Kasian suamimu."

"Umi ngusir Anin."

"Loh ya ndak, Nduk. Kemarin suamimu juga telepon umi."

Deg. Anin takut Naren menceritakan apa yang terjadi atau mengatakan Anin tidak membalas pesannya. "Telfon bahas apa Umi?"

"Cuma tanya kabar sama minta maaf belum ke sini."

Janji yang Ternoda [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang