Bab 40 - Sebab dari Segala Sebab

61.3K 3.6K 1.2K
                                    

PERHATIKAN!

Plis jangan pada kasih judul sendiri. Sedih aku tuh. Judulnya JANJI YANG TERNODA tanpa I. Ternoda bukan Ternodai yaa...

Minimal dengan ingat judul dan nama author Mellyana Dhian itu udah bentuk apresiasi.

Janji yang Ternoda bukan ternodai. Ingat!

***

8 tahun yang lalu ...

"Mbak Anin, boleh gak aku ngomong sesuatu?" tanya salah satu santri dengan ragu ragu.

"Kenapa?" Anin menghentikan langkah, menoleh ke arah gadis itu.

Anin masih muda, tapi semua orang memanggilnya Mbak atau kadang juga Ning sebagai tanda hormat kepada Anin selaku anak kyai.

"Tolong berikan surat ini kepada umi."

Anin menerima surat itu, membaliknya. Tidak ada tulisan apapun di luar amplop. "Ini surat apa?"

"Saya tidak bisa kasih tahu Mbak, tapi saya mohon berikan kepada umi."

"Baik." Anin menyanggupinya.

Anin melanjutkan langkah menuju kantor guru. Dia diminta Fajar menghadiri kursus komputer. Anin suka sekali diajarkan fitur-fitur powers point. Apalagi dengan efek transisi layar per layar. Fajar itu kakak kelas Anin sekaligus santri kesayangan abahnya. Anin lumayan mengidolakan lelaki itu karena sopan, tampan, dan pintar. Tentu hanya Anin yang tahu kalau dia kagum kepada Fajar. Karena keasyikan bermain komputer, Anin lalai. Dia tidak sadar suratnya terjatuh.

"Ah, palingan juga gak penting. Lagian kenapa juga harus kirim surat. Padahal bisa ngomong langsung ke Umi."

Wina, santri yang nasibnya berada di ujung jurang. Dia berpacaran dengan salah satu santri putra. Besok akan menjadi kejadian sejarah yang buruk untuknya. Dia akan digiring ke tengah lapangan, diguyur air comberan disaksikan semua santri putri. Karena pelanggaran yang dilakukan Wina, Anin kurang simpatik kepadanya.

Anin tidak lagi mengurus Wina. Dia lupa tentang surat dan tidak terpikirkan tentang pesantren karena di hari yang sama saat Wina dihukum, Anin berangkat ke pesantren tempatnya menimba ilmu.

Hari itu ... Saat Wina menitipkan surat Anin, gadis itu sangat ingin umi tahu kalau dia difitnah. Wina disukai oleh salah satu kakak kelas. Dia mengaku kalau berpacaran dengan Wina. Dia sering mengirim pesan untuk Wina. Lalu tanpa Wina tahu ada seseorang yang membalas surat itu. Surat balasan itu sampai di tangan keamanan. Entah siapa yang melakukan, Wina disidang. Anehnya banyak sekali bukti yang mengarah kalau tuduhan itu benar. Sekalipun Wina sudah mengatakan ribuan kali kalo dia tidak berpacaran, pengurus tidak peduli.

Tidak ada satupun yang mendengar Wina. Bahkan teman-teman yang dekat dengannya tiba-tiba menjauh. Wina merasa terasingkan. Di sisi rasa frustasi itu dia berharap keluarga pesantren percaya padanya. Namun, tidak ada yang peduli. Semua mengabaikannya. Bahkan surat itu pun tak diacuhkan.

Wina yang memiliki kepribadian ceria mendadak introvert setelah hukuman itu ditimpakan padanya. Setiap pergi ke kamar mandi, kelas, atau tiap-tiap sudut, dia merasa diperhatikan. Tatapan mereka mengatakan kalau Wina sangat menjijikan. Wina sendiri dengar kalau orang-orang menggunjingnya.

Wina bisa bertahan hari per hari, minggu ke bulan, tetapi tepat satu tahun, dia memilih mengakhiri hidupnya.

Semua itu Anin ketahui setelah membaca buku harian yang ditulis Wina. Di dalam buku itu tertulis perasaan diasingkan, kesepian yang Wina rasakan selama di pesantren. Dan saat Anin membaca lebih jauh, dia menemukan petunjuk-petunjuk tentang alasan Wina mengakhiri hidupnya. Jadi selama ini Naren menganggap Anin juga bersalah. Padahal sebenarnya Anin baru tahu sekarang.

Anin menutup buku Wina. Pikirannya menerawang jauh. Sangat merasa bersalah.

"Bibi, maafkan saya." Mata Anin yang berkaca-kaca.

"Kalau kamu tahu diri seharusnya kamu tidak bergabung ke keluarga ini."

Anin menggigit bibir dan menundukkan kepalanya. "Saya tidak tahu. Saya minta maaf."

"Dengan minta maaf saja tidak akan mengembalikan Wina ke dunia ini. Kamu dan keluargamu sudah membuat anak saya mengakhiri hidupnya."

Anin merasa perutnya kram. Sambil menahan rasa sakit dia meraih tangan sang bibi. Bibi Naren menangis tersedu-sedu. "Jangan minta maaf. Saya tidak butuh maaf. Saya butuh anak saya kembali.

Seseorang masuk ke kamar. Itu Lin. Dia agak bingung dengan situasi yang ada.

"Mama sejak kapan di sini?" tanyanya basa basi.

"Mama mau minta pertanggungjawaban meninggalnya Wina."

"Mama!" Lin tidak bisa mengendalikan emosinya. "Anin tidak tau apa-apa."

"Sekarang dia sudah tahu kelakuan jahat keluarganya."

"Ma, Anin mau pulang ke Jogja. Anin mau ketemu Umi. Anin ... "

Lin memeluknya. "Sayang masalah ini udah selesai."

"Anin bersalah. Wina akan tetap bertahan kalau saat itu Anin gak melalaikan surat itu. Di buku ini, Wina sangat berharap sama Anin. Dia mengganggap Anin orang baik tapi Anin ... " Dia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tenggorokannya tercekat. Rasanya seperti ada beban besar yang menekan dadanya. Rasa bersalah membelenggu setiap geraknya.

Lin menyadari kalau kejadian itu bisa membahayakan Anin. "Lebih baik Mama pulang."

"Kakak memilih menantu kesayangan daripada kami?"

"Bukan gitu."

"Terus apa Kak?"

"Anin gak salah. Kalian tolong berhenti menyalahkan keluarga Anin."

"Sampai mati saya gak akan memaafkan keluarga wanita itu. Karena mereka sudah membunuh cucu saya." Nenek berkata cukup panjang sebelum meninggalkan ruangan.

Lin menghela napas. Dia memijit pelipis yang mendadak pening. Karena tidak ada pergerakan dari sang adik, Lin mendorong kursi roda sang mama. "Mama harus istirahat. Mama harus percaya sama Lin."

"Mama gak suka kamu kayak gini Lin. Tega kamu meninggalkan mama?"

"Lin gak pernah ninggalin mama. Mama tidak akan bahagia jika terus terpengaruh dengan adik."

"Maksud kakak?" Bibi Naren tidak terima. "Kakak mengira aku sudah mencuci otak mama?"

"Nanti kita bahas lagi. Tolong sekarang mengerti keadaan Anin. Aku gak mau calon cucuku kenapa-kenapa." Lin serius memberi peringatan.

Saat Lin balik ke kamar rawat inap, Lin melihat wajah pujat Anin. Dia memegang perutnya dengan erat, ekspresinya terlihat sangat menderita.

"Maaa ... Perut Anin sakit banget," Anin mengadu dengan suara yang lemah. Karena tidak kuat menahan sakit,  Anin menangis. "Ma, Anin gak tahan. Ini sakit banget."

Jauh di lubuk hatinya, Anin sangat mengkhawatirkan janinnya. Dia tidak mau kehilangan anaknya. Anin merasa terisolasi dalam ketakutan yang melumpuhkan. "Astagfirullah, Ya Allah," rintihnya.

Jantung Lin berdegup kencang, ketakutannya semakin memuncak saat melihat darah menembus celana Anin. Dia menekan bel darurat berkali-kali

***

Buat teman-teman yang gak sabar baca cerita ini, dan mau bentuk fisiknya bisa order novelnya di Shopee yaa

Janji yang Ternoda. Gak ada I-nya 😞

2500 vote + 1000 komen lanjut bab selanjutnya.

Janji yang Ternoda [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang