Bab 42 - Lemahnya Perjanjian

37.9K 1.7K 282
                                    

Rukun iman menjadi pilar utama seorang muslim dalam menjalankan hidup beragama. Jika rukun Islam seperti salat boleh tidak dilakukan oleh perempuan yang sedang haid, bila puasa boleh digantikan dengan fidyah karena sakit parah, dan bila haji hanya boleh dilakukan oleh orang yang mampu. Tidak melakukan rukun Islam tetap menjadi Islam. Beda cerita dengan rukum iman. Satu pun darinya hilang, maka dia menjadi hamba yang tidak beriman. Allah melaknat orang-orang yang tidak beriman. Saat ini yang Anin lalui adalah krisis iman karena rasa bersalah yang begitu dalam.

"Seharusnya Anin yang mati. Seharusnya Anin yang bertemu Allah karena gak mampu menjaga amanah ini."

Lin sangat prihatin melihat kondisi Anin. "Enggak, Nin. Kamu gak salah."

"Kalo Anin lebih kuat, Anin gak akan keguguran Ma."

Tangan Lin mengusap lembut bahu Anin. "Udah kamu tenangin diri. Naren mau ketemu kamu. Dia sebentar lagi juga akan dibebaskan."

"Anin gak mau ketemu sama Mas Naren Ma."

"Kenapa?"

"Anin terlalu malu. Anin yang bunuh Wina. Anin juga yang bunuh calon anak aku dan Mas Naren. Bener kata Mas Naren dulu kalo aku hanyalah pembunuh."

"Aniiin!" Lin agak frustasi. Nada bicaranya meninggi. Karena itu, Anin menangis sekarang.

Rasanya menyesakkan. Definisi paling tepat untuk Anin menggambarkan rasa hampa yang menyusup dalam hatinya. Menapaki cobaan yang begitu sulit dipahami untuk sekarang. Tidak logis. Memprihatinkan.

"Maksudnya apa Ya Allah? Hapuskan gundahku," rintihnya setelah doa panjang berbahasa Arab.

Anin punya pikiran buruk yang seharusnya tak muncul. Punya persaaan aneh yang semestinya tidak tumbuh. Dia terus meraba raba 'apa ini Ya Allah? Apa maksudnya Ya Allah?'

Namun, Anin tahu. Dia bukan siapa-siapa. Dia bahkan tidak boleh meragukan Allah apalagi menyalahkan Allah. Perlahan, Anin akan menerima. Perlahan, Anin akan belajar ikhlas. Semua langkah itu dimulai dengan menjauh dari Naren.

"Maafin Mama Nin." Lin sadar dia tidak seharusnya membentak Anin.

"Mama gak salah. Sekarang tolong tinggalkan Anin sendiri. Anin mau di sini sendiri."

Meskipun berat hati, Lin mengikuti permintaan Anin. "Baiklah. Kalau butuh sesuatu jangan ragu panggil Mama. Mama duduk di depan."

Anin pun mengangguk lemah.

***

Selama perjalanan, pemandangan pepohonan, pegunungan, bahkan sesekali rumah warga ditatap oleh Anin. Dalam perjalanan itu dia terus merenung tentang hubungannya dengan Naren. Jika berpisah itu sulit apakah bersama tak akan lebih sakit?

"Mikir apa sih, Nin!" Dia menggeleng keras. "Gak. Perpisahan itu gak boleh terjadi."

Air mata Anin jatuh. Dia lelah. Lelah dengan kaki mungil dan bahu yang harus bekerja keras menompang keluarga. Dia butuh tempat pulang yang bisa diajak duduk bersama, tapi Naren tidak pernah bisa. Apa dia memilih orang yang salah? Ribuan kali Anin memikirkannya, merenungkannya, dan saat ini menangisinya. Seharusnya dia bersabar saja. Seharusnya dia tidak buru-buru menentukan orang untuk diajak menua bersama. Dan saat dia sadar, semuanya sudah terlambat.

Jika kamu mengikuti kata hati, cinta itu tak akan mudah pudar. Jika kamu mencintai baiknya saja, maka cinta itu mudah hilang. Begitu kata seseorang yang pernah Anin temui. Apa selama ini Anin mencintai kelebihan Naren saja? Rasanya tidak. Dia bahkan melihat kekurangan Naren lebih cepat sebelum ia benar benar mengenalnya.

Hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir. Ke mana Allah akan membawa arah hatinya, ke situlah Anin akan mengarah. Kemana Allah akan menuntunnya, ke situlah Anin akan melangkah. "Terangkan jalannya Ya Allah. Hati ini sudah seperti adonan kue yang terus diaduk meski sudah tercampur. Tata hatiku baik-baik di jalan yang terbaik." Doa Anin sembari memejamkan mata. Lagi lagi air matanya menetes.

Seseorang pernah berkata Rasanya begitu campur aduk seperti adonan kue yang terus diaduk bahkan meski sudah tercampur. Teruuuuuus bertanya "Apa maksudnya? Bagaimana seharusnya? Apa yang akan terjadi berikutnya? Aaaaa rasanya Anin ingin marah. Anin beristghfar. Berkali-kali mengharap bantuan Allah. Perlahan mulai mereda. Kenapa juga rasa rasa seperti ini harus ada? Why?

Di tempat yang berbeda, Naren duduk di meja kerjanya. Tangannya memegang surat gugatan cerai dari Anin.

"Setelah gue bebas, gue pikir bisa lanjutin hidup gue sama Anin. Nyatanya Anin milih pergi dari hidup gue." Naren curhat kepada Bayu yang baru melewati pintu ruangannya.

"Anin serius minta cerai?"

"Iya. Gue gak mau pisah sama dia."

"Gue gak nyangka Anin bakal gegabah."

"Tapi gue sadar, Bay. Selama ini gue sering sakiti dia. Apa berhak gue tahan dia?"

"Itu kan dulu sebelum lo taubat. Sekarang lo perlakukan Anin sangat baik."

Bayu membulatkan mata. "Ren, lo beneran tanda tanganin itu."

Mulai itulah kisah kisah yang sudah dirajut tak terlihat polanya. Entah akan menjadi gambaran yang baik kedepannya atau tidak. Yang jelas, Anin dan Naren tidak baik-baik saja. Anin mengingkari JANJInya untuk tetap membersamai Naren. Naren menodai janji pernikahannya sejak awal pernikahan itu dimulai.

JANJI YANG TERNODA
SELESAI

***

Aku gak nyangka bisa selesaikan cerita ini 😭 aku mau ngucapin terima kasiih yang sebanyak-banyaknya kepada kalian yang udah ngikutin cerita ini dari awal dan sabar banget nunggu update

Tolong kasih kata kata buat ceritaku ini yaaa

Tulis pesan buat Naren 👉🏼

Buat Anin 👉🏼

Bayu 👉🏼

Nada 👉🏼

Buat penulis 👉🏼

Apa kamu butuh extra chapter???

Janji yang Ternoda [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang