Kenapa sih updatenya lama?
Buat nentuin adegan per bab biar kalian suka itu gak mudah guys. Aku sempet hapus dan nulis.
Vote 800 + komen 500 kita lanjut bab 22 bisa? Kalo bisa jangan spam tapi komen per paragraf aja.
***
Bukan kali pertama satu ranjang dengan Naren, tapi entah kenapa Anin tidak bisa mengontrol detak jantungnya. Setelah obrolan dengan keluarga, pukul 11 malam Anin dan Naren masuk ke kamar. Namun Anin keluar lagi beralasan ingin mengontrol keadaan santri putri. Saat kembali menjelang dini hari ternyata Naren masih mengetik. Terpaksa Anin merebahkan tubuhnya tanpa membuka jilbab di samping sang suami dengan posisi membelakangi.
"Allahu akbar," seru Anin saat bangun dari tidur.
Naren dan Anin tidur berhadapan, sangat dekat. Dengan jari-jarinya yang bergetar, Anin bangkit. Gerakan Anin membuat Naren terusik. Matanya pun perlahan terbuka. "Jam berapa sih?"
"Hah? Apa?"
"Jam berapa?"
"Jam 4 sore."
"Sore?" Meski masih ngantuk, tidak mungkin penglihatannya salah. Tidak ada sedikit pun cahaya matahari.
"Empat lebih tiga puluh tujuh menit. Pagi maksudku."
"Kamu mau ke mana?"
Kamu? Anin berdebar hebat. Mendadak dia bingung akan melakukan aktivitas apa. "Siap-siap salat subuh. Nanti mas ambil sendiri ya di lemari ada sarung, koko, sama peci."
"Hmm." Naren ingin tidur lagi beberapa menit.
Padahal Naren sendiri yang mengeluh kamarnya sempit, panas tidak ada AC, dan kasurnya keras, tapi dia juga yang tidur paling lama.
"Semalem bilang gak bisa tidur sekarang nyaman banget mas," sindir Anin.
Karena gengsi, Naren pun bangun. Dia menyibukkan diri dengan memainkan ponselnya. Tidak begitu lama Anin sudah wangi. Perempuan itu mandi—berganti baju di dalam kamar mandi—lantas mengenakan mukena.
Harum pewangi mukena milik Anin mengusik Naren. Jantungnya berdebar. Saat melihat wajah Anin yang berseri, tepi bibir pria itu pun tertarik. Cantik
"Mas aku ke masjid dulu. Kayaknya udah ditunggu para santri." Buru-buru Anin meninggalkan kamar. Bukan Anin tidak peka, justri karena kepekaannya perempuan itu ingin segera pergi dari hadapan Naren. Ditatap seperti tadi membuatnya gerogi.
Sebelum ada jawaban, Anin sudah hilang di balik pintu. Duh gerogi banget.
Selama ini Anin sering sok berani akan membuat Naren jatuh cinta, tapi ditatap seperti tadi tetap saja dia salah tingkah. Ya Allah.
"Dasar gak bisa bohong." Naren tersenyum semakin lebar. Dia melihat jelas pipi Anin yang merah. Pipi istrinya memang sering kemerahan saat tersenyum dan akan semakin merah ketika malu. Alami tanpa blush on. Daya tarik yang membuat karyawan Naren terpesona pada pandangan pertama di kantor kala itu.
Plak!
Naren menampar pipirnya sendiri. "Sadar!"
Di luar Anin bisa bernapas lega. "Ya Allah malu banget."
"Mbak Anin," panggil salah satu santri yang lumayan dekat dengan Anin. Dia heran dengan tingkah Anin yang seperti orang kasmaran.
Anin langsung berusaha bersikap senormal mungkin. "Eh, ya."
"Mbak kenapa senyam-senyum gitu?"
"Gak apa-apa kok. Ayo ke masjid!"
Di pesantren Anin sering dipanggil Mbak atau Ning. Kedua panggilan itu sebagai tanda hormat kepada Anin sebagai anak pengasuh pesantren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji yang Ternoda [Lengkap]
SpiritualPernikahan terpaksa itu terjadi bukan karena perjodohan. Bukan juga karena cinta. Semua itu karena ada rahasia. "Gue gak pernah anggap pernikahan ini berharga. Pernikahan impian? Itu cuma halu. Gue gak akan cinta sama lo sampai kiamat." Pernikahan...