Tapi sepertinya menyerah lebih baik {52}

6.1K 569 31
                                    

"Jadi nya, lo mau kayak gimana? " Acha duduk bersila di samping Bragas yang juga duduk lesehan bersila di teras depan rumah kediaman Acha. Dengan segelas susu coklat di gelas yang ia bawa, Acha dengan santai menyeruput minumnya beberapa kali dengan nikmat.

Udara malam sangat segar, itu hal biasa bagi Bragas, malahan dirinya lebih sering menghirup udara malam jalanan. Tak ada rasa dingin sama sekali saking sudah terbiasanya. Hanya mengenakan kaos putih polos lengan pendek dan celana jeans hitamnya, jaket kulit yang ia lepas di taruh di kursi kayu belakang mereka.

Bragas menghembuskan asap rokoknya, "gue gak tau harus ngapain, capek kalo di rasain, " ucapnya.

Acha menoleh, menaikan sebelah alisnya meminta lebih kejelasan.

"Hidup gue udah gak tau buat siapa, Abah udah gak peduli lagi sama gue, apalagi Mama, yang bahkan gak inget kalo anaknya disini harus di urus juga, " lanjut Bragas mematikan ujung rokoknya di asbak samping dirinya yang Acha sediakan.

Acha meletakan gelas tinggi berisi susu coklat nya disamping, lalu melipat kedua kakinya di depan dada, menatap langit-langit malam yang cukup cerah seperti biasa.

"Tapi lo punya gue, anggap gue sebagai keluarga lo, kakak lo, saudara lo. Dan lo, masih punya Nata yang masih butuh lo taklukin, lo mau dia kan? Ingat? " jawab Acha penuh tekan.

Bragas ikut mendongakkan kepalanya menatap langit di atasnya, "tapi gue ragu, dia kelihatan resah, mungkin dia gak mau sama gue? Manusia yang cuma punya kebebasan, gak punya aturan, gak peduli sekitar, sedangkan dia? Mustahil gue bisa sama dia, " ucap Bragas, menghembuskan nafasnya kasar begitu putus asa.

"Tapi lo pernah selangkah lebih maju buat dapetin dia, bahkan hampir sepenuhnya lo punya dia, lo gak butuh kesamaan diantara kalian, lo cuma butuh keberanian buat jelasin semuanya, entah itu di lo atau di Nata sekalipun, itu salahnya, dan itu yang harusnya kalian pahami masing-masing, " jelas Acha kembali.

Dan menciptakan hening di antara keduanya, saling diam untuk sekedar mencerna pikiran mereka masing-masing.

Bandung, lagi-lagi Bandung. Bragas tidak pernah habis dengan cerita-cerita dirinya di Bandung. Terlalu banyak cerita, senang, sedih, sakit, bahkan kehilangan sekali pun di kota itu. Maka dari itu Bragas rasanya benar-benar nyaman untuk tinggal di kota dingin itu. Bukan hanya sekedar nyaman tinggal, tapi kenangannya yang begitu banyak ia habiskan. Bahkan dirinya mengenal cinta pertama kali juga di kota itu. Mungkin dirinya akan menghabiskan hidupnya di kota Bandung juga, disertakan dengan cerita-cerita pemanis yang baru saja dirinya buat.

Kembali dengan topik awal, perasaan yang terus menganggu. Resah, itu yang dominan terasa. Takut, mungkin hanya sekian persen saja. Selebihnya dirinya tidak peduli. Persetan urusan keluarganya, dirinya sudah tidak bisa mengharapkan apa-apa lagi dari sebuah keluarga itu. Mungkin sebelum lahir dirinya sudah banyak berbuat dosa hingga Tuhan begitu baik membalasnya dengan menjauhkan dirinya dengan keluarga. Tentunya di lubuk hati paling dalam Bragas, dirinya menginginkan hal yang orang-orang rasakan juga.

Tapi logika nya terus berjalan, hidup tidak akan terus indah dijalani. Bragas yakin, banyak orang yang lebih menderita dibandingkan dirinya. Pikirnya dirinya hanya secuil orang yang termasuk kedalam orang yang tidak beruntung dalam hidup, dirinya bisa paham, saking pahamnya pikirannya terlalu tidak peduli dengan semua itu. Hingga ia lupa pada dirinya sendiri akan seperti apa. Bragas tidak akan menanggapi lebay inti permasalahan hidupnya, baginya itu membuang-buang waktu. Karena untuknya hidup sudah begitu keras, maka jangan dibuat pusing, berikan percikan kebebasan sesuai porsi yang sudah disediakan. Mungkin memang tidak akan menjadi jalan keluar dari permasalahan itu sendiri, tapi setidaknya itu akan membuat dirinya lebih sedikit beruntung dan tenang telah hidup sampai saat ini juga.

Sakit, Bragas tidak bisa bohong. Bagaimanpun dirinya masih manusia yang memiliki perasaan, meskipun tidak kuat kepekaan nya. Dirinya tidak pernah memiliki orang penting, kecuali mungkin teman-teman nya dan Acha (?), sebagai keluarganya. Tapi dirinya sadar, bagi orang ia tidak pernah penting saka sekali. Itu sebuah fakta yang harus dirinya terima, entah itu benar atau tidak tapi mungkin itu kebenaran yang sebenarnya. Teman-teman nya dirinya gunakan sebagi pengalihan, agar dirinya bisa menggunakan kebebasannya untuk apapun bersama teman-teman nya.
Dan Acha? Gadis yang dulu sempat ia ingin jadikan pacar hanya karena merasa Acha adalah orang satu-satunya yang mengerti dirinya saat itu. Dan tidak ingin kehilangan Acha, maka dengan berani ia mengungkapkan perasaan labilnya itu. Namun nyatanya memang semuanya tidak akan pernah baik. Dirinya mendapatkan kabar bahwa Acha yang baru Bragas akan jadikan rumah malah diruntuhkan takdir yang sama sekali Bragas tidak bisa melawan. Acha dijodohkan, dan harus terpaksa meninggalkan Bragas disini.

Tentunya Bragas senang dengan kehadiran Acha saat ini kembali ke Bandung. Hatinya terasa menghangat sedikit, karena ada sedikit sandaran untuknya. Meskipun dengan batasan dan ke tahu diriannya, dengan status Acha saat ini. Dirinya tidak akan memaksa, Bragas tidak punya hak atas apapun.

"Kayaknya nyerah lebih baik, " celetuk Bragas membuat Acha spontan ke arah Bragas di sampingnya.

Mata Acha sengit menatap Bragas, "maksud lo? Lo gila apa gimana? " responnya.

"Gue capek, Cha, hidup gini amat, kapan gue bisa punya poin 41, sedangkan isi kartu nya dikasih pilihan joker semua, lucu banget anjing hidup gue, " Bragas menggeleng-gelengkan kepalanya heran sendiri lalu ikut melipat kedua kakinya di depan dada seperti posisi Acha, masih anteng dengan menatap langit malam nya yang semakin terang dengan bulan dan bintang-bintang nya.

Acha menegakkan posisi duduknya kadi bersila, lalu meminum susu coklatnya di gelas hingga habis, "tapi gak pernah kita duga bakalan kayak gimana, mungkin iya lo banyak dikasih kartu joker semua, tapi lo gak pernah tau kalo nanti lo ketemu kartu king heart yang belom lo sempet ambil, " ucapnya menatap ke depan yang nampak dedaunan pohon bonsai yang bergoyang tertiup angin.

"Tapi gue gak bisa dapetin king heart, itu terlalu susah buat gue yang dapet As sekop lebih dulu, itu gak bakalan bisa dapet poin sama sekali, kalo pun mau, gue harus balik ke awal milih yang baru lagi, dan itu akan memakan waktu, " jawab Bragas santai.

Acha menatap lekat-lekat Bragas disampingnya, "tapi kalo lo niat menang, lo gak bakal kalah, Gas, " ucapnya.

"Gue gak pernah berharap menang, punya poin aja itu udah cukup buat gue, Cha, " jawab Bragas, dan beranjak berdiri dari duduknya. Mengambil leather jacket nya, dan mengenakannya kembali.

Acha ikut berdiri, "mau kemana? " tanyanya dan mengambil gelas serta asbak di teras sana. Jam sudah menunjukkan pukul 9 hampir jam 10 malam.

"Konvoi, " jawab Bragas santai.

"Hati-hati, " Acha mengangguk paham, anak itu benar-benar tidak bisa berdiam di rumah, tidak habis pikir.

Bragas berjalan menuju motornya, dan bersiap memakai helmnya, "lo ke Jakarta besok pagi? " tanyanya.

Acha menggeleng, "jam 11 malem nanti gue berangkat, " jawab gadis itu.

"Dijemput? "

Acha mengangguk.

"Yah gak bisa ketemu calon suami lo dong, " ucap Bragas dengan tampang dibuat seolah kecewa.

"Lebay lo, udah sana pergi aja dah, have fun, hati-hati gue peringatkan sekali lagi, gue gak mau denger ada apapun! " peringat Acha dengan tampang serius mewanti-wanti.

Bragas menghormat, "SIAP CALON ISTRINYA ORANG!! " ucapnya lalu segera berlalu setelah menyalakan mesin motornya.

Acha hanya tersenyum simpul menatap kepergian Bragas di sana. Rasanya berbeda kali ini tidak sesantai biasanya, entahlah khawatir muncul di dalam dirinya saat ini, apalagi Bragas yang tiba-tiba bercerita tentang hidupnya secara random seperti tadi. Membuat Acha semakin tidak enak perasaan saja. Sudahlah lupakan, ia yakin Bragas mampu.

°°°

wkwk aja gue mah.

Less Than Zero [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang