Dia, manusia yang rasanya gak punya nilai. Dari visual dia pantes jadi kesukaan para wanita dan lelaki submissive, tentunya. Siapa yang gak tertarik dengan wajahnya yang tampan, rahang tegas, alis sedikit lebat, dan mata bule nya. Tapi mengenai kepribadian, orang-orang pasti akan berpikir dua kali untuk mendekati nya. Minim adab, kebiasaan buruk, sering bolos pelajaran, urak-urakan, anak motor, ditambah malah menjabat sebagai ketua Ultras.
Bragas, namanya unik, seperti nama salah satu sebuah jalan di kota Bandung. Entahlah hubungan kemiripan antara kedua nama itu apa, yang jelas gue gak peduli.
Bragas Adanta Harcourt, keren kan? Tapi jangan harap gue suka begitu aja sama itu orang. Setelah di koreksi ternyata hidupnya benar-benar membuat orang berpaling sepihak. Dia berbanding terbalik dengan gue, sangat, bukan sekedar.
Gue gak pernah suka sama dia, bukan tipe gue banget. Tapi itu sebelum gue kenal dia. Munafik, anggap gue emang orang munafik itu. Tapi karena itu ada alasannya, sulit di jelaskan. Tapi gue bisa paham sama itu semua kenapa gue bisa jadi suka sama Bragas. Tapi kadang emang bikin geleng-geleng kepala aja liat tingkahnya yang habis-habisan. Capek kadang, tapi gimana lagi sifat bebalnya gak akan nyerah gitu aja. Dan itu justru yang membuat dia beda dari yang lain, dan sayangnya gue baru menyadari hal itu.
Manusia yang beberapa minggu gue kenal, dan sukses buat gue luluh seketika. Kayak ada sihir gitu, tapi masa iya pake sihir. Gak mungkin, ah.
Gue akui langkah gue salah, harusnya gue lebih ngerti Bragas. Gue egois, iya gue emang egois dan gue juga menyesali itu. Kalo gue gak egois mungkin Bragas masih ada, di samping gue sambil ngerokok nungguin gue makan kinder. Iyakan?
Tapi karena ke egoisan gue juga semuanya terjadi. Andai, andai, lagi-lagi andai. Banyak andai bermunculan di pikiran gue sejak saat itu. Bahkan gue gak berani makan sisa sepotong kue yang terakhir dia kasih ke gue. Rasanya sakit, entahlah mungkin ini yang namanya penyesalan. Dan sekarang? Gue harus ngapain? Rasanya masih berat, momen gue udah mau nerima dia lagi dan mau baikan sama dia malah berakhir sia-sia. Sakit, iya, tapi masih berharap kalo besok dia bakalan jemput gue, ngasih gue sekresek kinder, ajak gue keliling Bandung, liat senja di balkon rumahnya, liat city light kota Bandung juga. Tapi itu udah gak mungkin. Saat ini hal itu cuma bisa dibayangkan aja. Gak akan pernah kejadian lagi. Gak adil, emang, tapi gue gak bisa nyalahin kehendak Tuhan juga. Makanya gue lebih salahin diri gue sendiri aja.
Gue gak rela. Gue gak sanggup. Gue gak bisa terima fakta yang terjadi sebenarnya. Kehilangan, tentunya. Berat, tiap ingatan itu muncul bakalan sesak sendiri tiba-tiba. Rasa-rasanya mendingan ikut mati juga gak sih?
°°°
terimakasih semoga Bragas tenang disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Less Than Zero [COMPLETED]
Teen Fictionketua ultras? siapa? dia? pantes sih, begajulan kayak gitu.