BAB 8 | Rencana

293 52 4
                                    

Beno memandang Kafa dari cermin diatas dashboard. Dia jujur jengkel dengan sikap majikannya itu. Kenapa hanya diam saat dipukul? Tidak melawan sama sekali? Jika seperti itu bukankah orang-orang akan meremehkannya?

"Apa yang kau dapatkan?"

Beno langsung fokus pada jalanan lalu menjawab. "Ada transaksi mencurigakan dari salah satu keluarga Hartanto."

"Baiklah. Selidiki lebih lanjut. Aku ingin laporannya nanti sore."

"Baik, Pak."

Keheningan menyelimuti dan Kafa tiba-tiba membuka suara. "Semuanya baik-baik saja?"

"Iya, Pak. Oh ya, ada undangan dari rekan Bapak."

"Undangan apa?"

"Pernikahan."

Kafa terdiam. Beno melirik cermin lalu menambahkan. "Masih dua minggu lagi. Saya sudah mengatur jadwal Anda."

"Terima kasih."

***

Dinda mengikuti Bima keluar dari mobil. Dia tahu lelaki itu sedang marah, karena itu dia hanya diam menemani Bima. Dinda kenal benar bagaimana Bima.

"Bim," panggil Dinda mengikuti masuk ke dalam kantor lelaki itu. "Kau bisa berbicara denganku. Ku mohon jangan seperti ini."

"Aku harus mengatakan apa padamu, Din? Kau menikah dengan lelaki itu, kau tidak mengatakannya atau berdiskusi denganku! Kau anggap apa aku ini?!"

Dinda menelan ludah, mendekati Bima. Meraih tangan lelaki itu, meremasnya pelan. "Aku harus melakukan ini untukmu."

"Untukku?"

Dinda mengangguk. "Kafa berjanji akan memberikan saham itu atas namamu. Tapi aku harus mengikuti surat wasiat itu. Setelah itu kami akan bercerai."

"Bercerai? Apa Paman Arsa tahu?"

Dinda menggeleng.

"Ayahmu?"

Dinda menggeleng.

Bima menarik tangannya dari genggaman Dinda, berbalik menyugar rambutnya.

Dinda melakukannya untuknya?

Lalu Bima berbalik, memandang Dinda dari bawah ke atas seakan meneliti.

"Aku tahu bagaimana kau berjuang selama ini, Bim. Kau anak baik dan berbakti. Perjuanganmu untuk mendapatkan tempat di perusahaan bukan secara instan, kau menitinya dari bawah. Aku saksinya jadi yang berhak mendapat saham dan kursi direktur bukan Kafa, melainkan dirimu."

"Dinda...."

Dinda tersenyum. "Kau tenang saja. Aku akan sangat berhati-hati, tidak akan kubiarkan orang lain mengetahui rahasia ini sampai semua saham dipindah atas nama dirimu."

Bima tertegun terdiam hanya memandang Dinda. Sampai Dinda berbalik dan meninggalkan ruangannya.

***

Dinda mengambil napas panjang, menghembuskannya perlahan. Dia hampir saja mengatakan alasannya melakukan semua ini.

Ya. Alasan selain yang dia sebutkan.

Dinda menyimpan rasa pada Bima.

Lagi-lagi Dinda menghela napas. Dia berdiri tegak kemudian mulai melangkah pergi menuju ruangannya.

Sampai di lantai tempatnya bekerja. Dinda penasaran melihat beberapa pegawai bergerombolan seperti membicarakan sesuatu.

"Kalian sedang apa?"

"Oh bu Dinda. Itu!" Seorang perempuan berkuncir satu menunjuk kearah pintu direktur. "Tadi Bu Tinta datang, didalam sepertinya mereka bertengkar."

Dinda segera melangkah cepat, begitu dia melewati ruangannya, disana Beno tampak santai mengerjakan sesuatu. Itu mencuri perhatian Dinda.

Fake Marriage [Season 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang