Bab 9 | Orang Itu adalah ... Belum saatnya

295 56 1
                                    

"Kau sudah tahu siapa yang mengkhianati perusahaan?" Dipa bertanya begitu Kafa menjelaskan hasil negoisasinya dengan Rubi. "Cepat katakan! Siapa?!"

Kafa menggeleng. "Saya hanya menebak. Saya belum menemukan banyak bukti untuk menangkap basah orang itu. Hanya laporan keuangan tidak akan menjadi bukti kuat."

Menghela napas, Dipa bersandar pada sandaran sofa. "Kau hanya melihat laporan keuangan saja sudah menemukan pelakunya." Dipa menoleh pada Kafa, dia merasa kagum dengan kemampuan Kafa.

"Ini hanya dugaan sementara saya. Karena itu, saya meminta Rubi untuk memasukkan beberapa anak buahnya ke dalam perusahaan dan di rumah."

"Dirumah?"

"Benar. Dirumah keluarga Hartanto." ucap Kafa. "Hari ini saya akan berkunjung ke rumah Nenek. Saya harus memasukkan anak buah Rubi untuk mengawasi Bima."

"Apa Bima juga terlibat?"

Terdiam. Kafa menoleh menatap Beno yang dengan setia berdiri disisinya.

"Dari analisis saya, Pak Bima hanya diperalat."

"Begitu ternyata. Baiklah." Dipa beranjak begitu juga dengan Kafa. "Aku bisa tenang masalah ini memiliki titik temu. Kau tahu, perusahaan ini di rintis Adi dari nol, semua harapannya ada di perusahaan ini. Begitu mendengar desas desus ada yang berkhianat dalam perusahaan, dia tidak tenang. Aku rasa, keputusannya membawamu masuk perusahaan tidak salah. Dia bisa tenang disana."

Kafa tidak terlalu menyukai kalimat Dipa. "Saya hanya berusaha secepat mungkin menyelesaikan masalah ini. Dengan ini, saya bisa menepati janji saya pada Pak Arsa."

Mengangguk menginyakan. Dipa kemudian pamit pergi dari ruangan Kafa.

***

Dinda tahu Ayahnya ada di dalam ruangan Kafa, begitupun Beno. Dia terlihat gelisah mondar-mandir menunggu Ayahnya keluar. Dia tidak berani masuk, walau dia benar-benar ingin tahu sebenarnya apa yang disembunyikan Ayahnya, tapi Dinda masih memiliki tata krama.

Dipa keluar dari ruangan Kafa dan senyum Dinda mengembang. "Ayah! Apa yang Ayah bicarakan didalam?"

Membuang muka, Dipa harus memutar otak untuk mengelabui putrinya yang keras kepala dan memiliki keingin tahuan yang tinggi. "Itu—"

"Aku akan kunjungan lapangan. Ayo!" tiba-tiba Kafa muncul dibelakang Dipa, disusul Beno. "Apa yang kau lakukan?" Tanya Kafa menatap Dinda. "Ayo pergi!" Kafa tidak mengatakan apapun lagi dan segera melangkah keluar menuju pintu lift.

Dinda membasahi bibirnya kemudian menatap Ayahnya sekilas. "Ayah masih punya hutang penjelasan pada Dinda." Ancam Dinda lalu mengambil tasnya dan segera mengejar Kafa dan Beno masuk ke dalam lift.

Dipa bisa menghela napas panjang lalu dari saku celana panjangnya ponselnya bergetar. Dipa mengambil ponsel dan melihat satu pesan masuk.

Saya akan mengalihkan perhatian Dinda. Anda tidak perlu risau.

Lalu satu pesan lagi dari Kafa muncul.

Setelah ini Beno akan kembali ke kantor dan mulai menyelidikan.

Lagi-lagi, Dipa menghela napas lega. Dia bisa tenang dan kembali bekerja.

***

Dinda mengekor pada Kafa seraya memperhatikan sikap lelaki itu. Dinda mulai gelisah begitu Kafa dengan luwesnya berbicara dengan para pegawai di dalam pabrik. Dia tampak serius berdiskusi dengan para pegawai, menanyakan beberapa hal dan mendetail yang menjadi komponen penting dalam mesin.

Dia hanya tahu Kafa bekerja di bengkel, namun sepertinya memang ada yang tidak beres pada diri Kafa. Lelaki itu benar-benar aneh dan misterius. Kafa tidak terlihat seperti seorang montir biasa. Rapi, berwibawa dan memiliki pengetahuan luas tentang otomotif—ini seperti Dinda bekerja bersama dengan Pak Adi.

Dari postur tubuh bagian belakang, Dinda merasa kemiripan besar antara Kafa dan Pak Adi.

Tubuh Dinda bergetar seketika.

"Aku hanya penasaran kenapa tidak ada kenaikan penjualan selama tiga bulan ini padahal kita menyuguhkan model mobil yang bagus," gumam Kafa sambil mengedarkan pandangan. "Ada sesuatu yang tidak beres disini." Kafa berbalik dan mendapati Dinda memandanginya. "Ada apa? Kenapa memandangku seperti itu?"

"Apa?! Seperti apa?! Tidak! Tidak ada apa-apa!" elak Dinda, bagaimana dia bisa ketahuan memperhatikan Kafa sampai sebegitunya.

Sebelah alis Kafa terangat, dia bersedekap dan mendekati Dinda. "Aku ingin tahu pendapatmu, kenapa penjualan tidak naik pada model ini?"

"Mungkin kita harus masuk pada proses mutu? Bagaimana?"

"Kenapa pada proses mutunya? Bukankah kalian sebelum mengedarkannya sudah melakukannya?"

"Kau benar. Tapi, aku rasa kau harus ke bagian mutu juga. Karena saat peluncuran model ini kau belum masuk ke perusahaan. Melakukan pengecekan langsung akan lebih mudah mengetahui masalahnya daripada duduk dibalik meja hanya membaca laporan. Benarkah?"

Terdiam. Kafa menghembuskan napas kesal lalu berbalik. "Ayo pergi!"

Dinda tersenyum. Sejujurnya dia belum membaca keseluruhan tentang kenapa penjualan selama tiga bulan tidak naik.

***

Dinda mencuri pandang pada Kafa yang duduk di kursi belakang melewati kaca spion diatas dashboard mobil. Lelaki itu tampak fokus pada tablet miliknya, jari telunjuknya yang lentik menggeser layar dengan anggun.

Menggeleng mengenyahkan pikiran itu, Dinda benar-benar sudah gila. Kenapa tiba-tiba dia tertarik pada jari lentik suaminya?

Berdeham mengenyahkan pikiran aneh dalam kepalanya. Dinda melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan waktu makan siang. Bahkan sudah lewat 10 menit. "Aku cek tidak ada jadwal makan siang di jadwalmu. Mau makan siang di kantor atau diluar?" Dinda bertanya pelan seraya menggeser tubuhnya agak miring kearah Kafa.

Lelaki itu masih tampak fokus pada layar tablet didapannya, keningnya bahkan berkerut. Kedua alisnya tebalnya hampir menyatu. Turun pada bulu mata yang lentik, hidung yang mancung serta bibir Kafa yang tampak berwarna merah muda. Apa suaminya tidak merokok?

"Aku sudah ada janji makan siang dengan orang lain. Kalau kau ikut, orang itu akan senang."

"Siapa?" Dinda penasaran. Siapa kiranya yang akan senang jika dia ikut makan siang juga.

"Kau akan tahu nanti."

Dinda mengangguk kemudian membasahi bibirnya kembali memperhatikan Kafa, dari bibir lalu turun ke jakun lelaki itu. Tanpa Dinda sadari, dia sampai menelan ludah dengan susah payah.

Kafa tiba-tiba menghela napas panjang membuat Dinda terkejut. "Ada lagi yang ingin kau sampaikan?"

"Ya? Eh! Tidak ada. Itu saja." Jawab Dinda tergagap

"Kalau begitu berbaliklah!"

"Oke." Dinda berbalik mengikuti perintah Kafa. Tangan kanannya berada diatas dada kiri. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang.

Apa karena efek belum makan siang? Akhirnya jantungnya berdebar kencang seperti ini?

***

Kafa tidak bisa fokus karena tatapan yang dilayangkan istrinya dari bangku depan. Apa Dinda tidak menyadari kalau Kafa menjadi gelisah hanya karena tatapan itu? Kafa merasa ditelanjangi oleh Dinda. Sebenarnya apa rencana Dinda?

Mencoba mengenyahkan pikiran aneh dalam kepalanya, Kafa memilih fokus pada laporan yang dikirimkan Beno namun sia-sia. Kafa tiba-tiba menghela napas panjang mendongak menatap Dinda. "Ada lagi yang ingin kau sampaikan?"

"Ya? Eh! Tidak ada. Itu saja."

"Kalau begitu berbaliklah!" perintah Kafa kesal.

"Oke."

Membasahi bibirnya, Kafa menggerakkan lehernya yang kaku ke kanan dan ke kiri. Tinggal mendapatkan bukti yang cukup saja kenapa susah sekali. Mencoba kembali fokus namun tampaknya sia-sia. Kafa meletakkan tablet di sisinya kemudian mencoba memejamkan mata namun sudut matanya tanpa sengaja menangkap bayangan Dinda pada spion diatas dashboard.

Ada yang mengusik dirinya sejak awal. Dan Kafa tidak tahu apa itu.

Benar-benar menyebalkan.

***


Fake Marriage [Season 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang