Bab 38 | Perpisahan

383 43 2
                                    

Dinda menuruni anak tangga dan menemukan mbak Sari didapur. Dia mendekat. "Apa Kafa disini?"

Mbak Sari langsung berbalik menelengkan kepalanya berpikir dan mengingat kemudian menggeleng. "Tidak Non. Waktu mbak datang rumah kosong. Saat keatas, mbak lagi tidur. Jadi mbak masak dulu baru bersih-bersih nanti."

Apa semalam dia bermimpi? Dia yakin melihat Kafa dan merasakan ciuman lelaki itu di keningnya.

Bau semerbak masakan mbak Sari tiba-tiba membuat Dinda mual. Dia membungkam mulutnya dan berlari ke kamar mandi diujung dapur. Tidak ada yang keluar dari mulutnya. Namun gejolak mual mendadak ini menyiksa Dinda. Kepala nya sampai terasa pening, bahkan Dinda harus memejamkan mata dan bertumpu pada wastafel kamar mandi agar tubuhnya tidak ambruk.

Dia mengambil napas panjang dan menghembuskannya pelan kemudian menatap pantulan dirinya di cermin. Dinda tampak begitu mengerikan. Wajah pucat dan kantung mata yang terlihat jelas membuatnya dia benar-benar jelek. Dinda meraih air dan mencuci mukanya. Saat gejolak mualnya sudah berkurang dia melangkah keluar kamar mandi menghampiri Mbak Sari.

"Aku mau siap-siap ke rumah sakit. Tolong mbak siapin sarapan untuk dibawa ke sana ya? Mungkin saja Ayah kangen masakan rumah setelah lama koma."

Mbak Sari mengangguk. "Siap Non."

Dinda tersenyum kemudian berjalan keluar dapur. Dia berpegangan erat pada pagar tangga untuk menopang tubuhnya yang lemah. Dia masih harus bertahan. Dinda tidak bisa tumbang saat ini. Dia masih harus menghadapi Kafa di pengadilan.

Menyelesaikan pernikahan mereka.

***

Sampai di ruang rawat Dipa. Dinda tetap diam. Dinda menatap bahagia Ayah dan Mamanya. Benar yang dipikirkan Dinda kalau Ayahnya pasti menginginkan masakan rumah setelah koma cukup lama. Dinda merasa tubuhnya bergetar aneh. Dadanya terasa sesak bahkan kedua matanya terasa panas dan tanpa sadar dia meneteskan air mata.

Dia juga menginginkan keluarga bahagia. Bayangan Kafa memenuhi kepalanya. Dinda sudah berusaha semaksimal mungkin mempertahankan rumah tangga. Dia tersenyum dengan beberapa kali mengusap pipinya yang basah. Dia tidak ingin Mama dan Ayahnya sampai melihatnya seperti ini. Dinda akhirnya memilih berdiri.

"Dinda mau cari minum dulu, Ma, Yah...."

"Ya." Retta menjawab seraya tersenyum kemudian kembali menyuapi Dipa.

Keluar dari kamar rawat, Dinda melangkah menjauh mencari udara segar. Dia berbelok menuju taman, duduk disana mengedarkan pandangan melihat sekeliling. Banyak keluarga pasien yang bersantai di taman. Dinda tersenyum melihat interaksi keluarga kecil tidak jauh dari dirinya. Mungkin anak laki-laki itu baru berusia setahun. Dimana anak mulai aktif dan menyukai hal baru. Jadi, saat bisa mulai berjalan anak itu membuat lelah kedua orang tuanya.

Tersenyum lembut, Dinda tiba-tiba menitikkan air mata. Dia sampai membayangkan bagaimana jika mereka memiliki anak. Apakah dengan kehadiran anak Kafa akan berubah? Apakah hubungan mereka bisa dipertahankan?

Menghela napas panjang, tangan Dinda refleks menyentuh perutnya. Andai saja dia hamil. Namun tiba-tiba dia mengingat kalimat Sasa waktu itu.

'Kau gila?! Bagaimana bisa kau tidak takut hamil, ha?! Situasinya tidak mendukung, Dinda sayang ... Coba pikirkan baik-baik!'

Bingung dengan situasinya. Dinda menundukkan kepala. Air matanya terus saja menitik tidak berhenti hingga sebuah tangan menyentuh bahunya. Dinda tidak peduli siapa yang menyentuh bahunya namun karena sentuhan itu tangisnya semakin kencang.

***

Bima melihat Dinda duduk di taman. Dia hendak mendekat namun dia menahan dirinya karena mungkin perempuan itu ingin menenangkan diri lalu Dinda tersenyum lembut ke arah seorang anak kecil yang berlarian membuat ayah anak itu kewalahan.

Fake Marriage [Season 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang