Bab 20 | Ini Keputusanku

290 50 9
                                    

Hanya ada satu rumah disana dan lampunya menyala terang. Dinda menghela napas panjang membuka pintu kayu itu, Kafa duduk di tepi tempat tidur yang menghadap keluar jendela. Taman terang disana menjadi fokus Kafa.

"Kafa...." Panggil Dinda pelan kemudian duduk di sisi lelaki itu. "Kau tidak kembali ke kamar. Bi Fatma bilang kau mungkin kesini, biasanya begitu setelah kau bertengkar dengan Paman," jelas Dinda dan Kafa hanya diam saja menatap keluar jendela.

"Kau diam begini membuatku takut."

"Kembalilah."

"Bi Fatma bilang untuk tidak meninggalkanmu."

Perlahan Kafa menoleh. Jarak mereka tidak jauh dan Dinda bisa melihat sudut bibir Kafa terluka. "Kau terluka." Tangan Dinda reflek bergerak namun ditangkap oleh Kafa.

"Tidak perlu. Hanya luka lecet." tuturnya melepaskan tangan Dinda lalu kembali melamun menatap keluar jendela.

"Selama ini aku tidak mau tahu tentang dirimu." Dinda berkata pelan. Kafa hanya melirik sekilas. "Maaf aku menguping pembicaraanmu dengan Paman Noah tadi."

"Lupakan saja. Jangan dipikirkan."

"Kau disiksa begitu, aku bisa membayangkan bagaimana dirimu saat kecil."

"Luka fisik akan sembuh seiring berjalannya waktu."

Dinda tahu. Dia terdiam sesaat kemudian menatap Kafa. Melihat sisi wajah Kafa yang terlihat sedih, hati Dinda ikut sedih. "Lalu bagaimana dengan luka yang ada disini?" Tanya Dinda seraya menggerakkan tangan kirinya, telapak tangannya mendarat tepat di dada kiri Kafa, membuat Kafa membeku dalam duduknya. "Apa lukanya juga akan sembuh seiring berjalannya waktu?"

Kafa bergerak menghadap Dinda sepenuhnya, tatapan perempuan itu turun pada telapak tangannya sendiri yang berada pada dada kiri Kafa.

"Aku menahan diri untuk tidak bertanya tentang dirimu. Aku berusaha keras tidak mencari tahu tentang sosokmu. Aku menahan keinginanku untuk tetap tidak ingin tahu apapun tentangmu." Lirih Dinda perlahan matanya bergerak keatas menatap mata Kafa. "Tapi saat mendengar Bi Fatma bercerita tentang masa kecilmu. Aku jadi memikirkan semuanya. Kafa yang ceria, nakal dan menggemaskan mengukir kenangan indah disini, tapi kenangan buruk juga terukir disini."

"Kau kasihan padaku?"

Mencebik. Dinda pura-pura berpikir keras sampai keningnya berkerut dalam. "Kasihan, ya." Jawabnya lalu buru-buru menambahkan. "Ingin aku rasanya kembali ke masa lalu, memeluk dan mengatakan. 'Kau hebat. Kau tidak sendiri. Masih ada aku'."

"Omong kosong apa yang kau ucapkan?"

Terkikik, sejujurnya Dinda juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia bisa mengatakan itu. "Tapi yang jelas, apa yang dilakukan ayah dan ibumu di masa lalu sangat buruk. Aku menyesal telah menyakitimu dengan kata-kataku saat di pertemuan waktu itu dan menolak mencari tahu kenapa kau bisa bersikap begitu kasar pada Nenek Wira, aku hanya memikirkan diriku sendiri."

"Alasanku. Aku tidak perlu menjelaskannya pada orang lain."

"Ya. Karena itu aku salah paham padamu." Dinda terdiam sejenak kemudian melanjutkan. "Kau berhak bahagia, Kaf."

Kafa menarik tangan Dinda dari dada kirinya—melepaskannya lalu beranjak berdiri didepan jendela. "Aku sudah bahagia hidup dalam dunia yang aku ciptakan sendiri. Dari keputusanku terus mengingat luka masa lalu. Paman benar, sepertinya aku sudah melupakan rasa sakit itu dengan menuruti wasiat dari Pak Adi."

"Kau melakukannya karena Ayahku." Dinda beranjak berdiri tidak jauh dari Kafa. "Apa kau tidak bahagia tinggal dengan keluargaku?"

"Keluarga?" Kafa tertawa getir. "Pak Dipa pernah bilang 'Memiliki keluarga itu menyenangkan' tapi keluarga ini palsu. Saat waktunya sudah tiba, akan kembali pada kenyataan."

Fake Marriage [Season 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang