Bab 10 | Menyerah?

291 48 2
                                    

"Dinda!" seru Nenek Wira begitu membuka pintu dan melihat Dinda keluar dari mobil bersama dengan Kafa.

"Nenek!" Dinda berlari menaiki tangga dan memeluk Nenek Wira.

"Kalian datang bersama. Nenek senang," jelas Nenek Wira setelah melepas pelukan Dinda dan menatap Kafa yang kini sudah berdiri dihadapannya. "Nenek benar-benar senang, Kaf. Selamat datang di rumah."

"Ya."

Dinda tidak menyangka kalau janji makan siang Kafa bersama Nenek Wira. Dinda menebak, hubungan keduanya sepertinya sudah ada perkembangan. Sikap Kafa benar-benar berbeda dari pertama kali lelaki itu berbicara dengan Nenek Wira.

"Ayo masuk! Kita makan siang bersama!"

Mereka bertiga duduk di kursi masing-masing, pelayan keluar dan mulai menghidangkan makan siang.

"Nenek sudah menghubungi Bima, tapi dia bilang tidak bisa pulang untuk makan siang karena ada jadwal makan siang dengan investor." Nenek Wira menatap Kafa. "Sering-sering makan bersama disini, ya? Nenek kesepian. Ajak Dinda juga." Tangan kiri Nenek Wira meraih tangan kanan Dinda, meremasnya pelan dan menatapnya dengan senang. "Hubungan kalian bagaimana?"

"Baik." Jawab Kafa singkat dan ditanggapi cedakan pelan dari Dinda.

"Kami masih sering bertengkar, Nek. Tapi Nenek tenang saja. Dinda pastikan, Kafa melaksanakan perjanjian kami."

Nenek Wira menghela napas menatap Kafa yang ternyata sudah mulai menyantap makan siangnya. Nenek Wira tidak jadi membuka suara, dia menatap Dinda. "Makanlah. Ayo! Jangan sungkan-sungkan."

***

Kafa berjalan disepanjang pinggir kolam seraya memperhatikan bangunan rumah. Pandangannya merekam semua yang ada di sini. Dia perlu mengenal rumah ini. Kafa berbalik, mendongak memperhatikan rumah besar itu. Hatinya tiba-tiba sedih.

Rumah dan keluarga ini adalah orang asing baginya, namun kenapa dia harus melindungi mereka semua?

Betapa tidak adilnya dunia ini.

Kafa benar-benar memutuskan untuk tidak lagi berurusan dengan keluarga Hartanto. Dia benar-benar ingin lepas dari jerat permainan keluarga.

Pandangannya bertemu dengan Dinda yang berdiri di ujung kolam.

Kenapa saat itu dia menyetujui ide perempuan itu?

Kenapa? Kenapa?

Kafa menelan saliva kemudian melangkah menuju Dinda. "Nenek sudah tidur?"

Dinda mengangguk lalu melihat jam tangannya. "Kembali ke kantor?"

"Ya. Ayo!"

Mereka berjalan keluar rumah bersama.

"Sikapmu sudah berubah pada Nenek, aku senang melihatnya. Kau terlihat seperti sudah memiliki hati," ucap Dinda.

"Dari awal aku memiliki hati, kau saja yang mengatakan aku tidak memiliki hati."

"Sikapmu yang menunjukkan kau tidak memiliki hati."

"Jangan menilai orang dari sampulnya." Kafa menghentikan langkahnya tepat begitu mereka keluar dari rumah. Tubuh Kafa berbalik sepenuhnya menghadap Dinda. "Berhenti ikut campur dalam urusan orang lain."

"Ikut campur? Aku tidak pernah ikut campur."

"Kalau begitu, kurangi rasa ingin tahumu. Semakin sedikit kau tahu, akan semakin aman hidupmu."

Dinda mengerutkan kening mendengar ucapan Kafa. "Hari ini kau banyak bicara. Dan bicaramu tidak masuk akal. Aku tidak tahu apa maksudmu."

Mencedak kesal. Kafa mendekat lalu menyentil kening Dinda sampai perempuan itu mengaduh kesakitan.

Fake Marriage [Season 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang