"Memang salahnya di mana kalau aku nginap di sini? Tempatnya lumayan kok, nggak buruk-buruk amat. Kalau malam, view-nya cukup bagus. Dari jendela aku bisa melihat lampu-lampu dari gedung-gedung di depan." Aku mencoba tertawa, dan mengabaikan fakta soal punggungku yang sakit, semenjak tidur di kardus selama seminggu ini.
Orion menatapku lama sebelum akhirnya berkata, "Aku jadi penasaran, kayak apa, sih view-nya. Boleh lihat ke atas nggak?" Dia bangkit dan berjalan menuju tangga.
"Eh, ngapain? Kamu pulang aja sana. Udah malam, aku juga mau istirahat. Capek banget." Aku pura-pura menguap berharap dia mengerti.
Bukan Orion namanya kalau menurut begitu saja. Lelaki itu justru langsung naik ke atas dengan langkah panjang-panjang sehingga aku kesulitan mengejarnya.
"Orion!"
Aku jadi kesal sendiri, saat menyadari lelaki itu sudah melesat jauh dan punggungnya tak tampak lagi.
"Orion!"
Gema suaraku terdengar lantang di ruangan yang nyaris kosong itu. Napasku tersengal-sengal saat akhirnya sampai di lantai tiga dan mendapati Orion berdiri dekat jendela.
Dia menoleh ketika aku berjalan mendekatinya, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
"Mbak tidur di mana?"
Rupanya dia tidak menyadari kalau ada tumpukan kardus di pojok ruangan dan sedikit terhalang oleh rak-rak setinggi dua meter.
"Kamu kepo banget, sih?" ucapku sambil cemberut.
Dia tidak menanggapi, tapi langsung berjalan mengitari ruangan dan akhirnya berhenti di depan rak, tak jauh dari jemuran darurat yang kubuat dari tali rafia.
Aku terlambat menyadari kalau beberapa pakaian dalamku tergantung di sana. Bergegas aku mendekat dan berdiri membelakangi jemuran, berharap agar dia tidak melihatnya. Tapi rasanya mustahil. Deretan bra beraneka warna itu hanya berjarak satu meter dari pandangannya. Astaga memalukan sekali! Wajahku memanas karena jengah.
Orion sepertinya menyadari kalau aku mencoba menutupi bra-bra sialan yang tergantung itu. Ekspresinya terlihat agak salah tingkah saat tanpa sengaja kami bertatapan.
"Sorry," ucapnya segera menjauh dari sana.
Aku buru-buru mengemasi jemuran itu dan langsung memasukkannya ke dalam koper. Saat aku bangkit, dan menoleh ternyata lelaki itu mengawasi dari kejauhan dengan kedua tangan berada di saku jaket.
Sial!
"So, kamu udah lihat, kan, kalau tempat ini lumayan. Nggak buruk-buruk amat, kok." Aku tertawa canggung.
"Kalau aku menawarkan Mbak untuk pindah ke tempat kost-ku gimana? Di sana jauh lebih layak dan juga aman." Dia terdengar berhati-hati saat bicara.
"Nggak perlu," jawabku tanpa pikir panjang.
Meski kehidupan di kota ini sedemikian bebasnya, tapi aku belum cukup gila untuk tinggal di tempat kost laki-laki yang tak ada hubungan apa pun denganku.
"Jangan salah paham. Maksudku, Mbak di kamar yang kutempati sekarang karena tempatnya lebih privat dan aman, dan aku pindah ke kamar lain. Ada kamar yang kebetulan kosong di sana."
Aku bisa merasakan ketulusan dari sorot matanya, tapi tetap saja aku berat menerima tawaran itu. Aku tidak ingin berutang budi pada siapa pun.
"Makasih banget tawarannya, tapi ... aku di sini saja." Sungguh aku tak enak hati menolak tapi juga tak bisa menerimanya.
Lelaki itu mengembuskan napas keras, tampak kehilangan akal.
"Ya, sudah. Aku nggak mungkin maksa. Tapi sebaiknya Mbak berhati-hati ... kudengar lantai tiga ini berhantu," bisiknya sambil bergidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)
ChickLitHarumi pernah gagal dalam pernikahan. Demi mengobati luka hati, dia pindah kota dan memulai hidup baru sebagai bagian dari tim Wedding Story (WeSto) sebuah wedding organizer yang baru berkembang di Jakarta. Namun, hidup memang penuh dengan kejutan-k...