Orion masih berdiri di depan kubikelku. Menunggu. Di bawah tatapannya yang tajam menyelidik, aku tak bisa berpikir jernih.
"Bagaimana kamu yakin itu dia? Uhm, maksudku calon suami Gita?" Aku mencoba tenang dan membalas tatapannya.
"Mataku masih sangat normal. Ingatanku juga bagus. Tentu saja aku mengenali nomor mobilnya. Seingatku ini ketiga kalinya dia datang menemui Mbak ke sini, bukan?"
"Aku nggak berhutang penjelasan apa-apa padamu, tapi aku tetap harus meluruskan kalau ini sama sekali nggak seperti yang kamu pikirkan." Entah mengapa aku tidak ingin Orion salah paham.
Lelaki itu tampak menimbang-nimbang sesuatu sebelum berkata, "Sebenarnya aku nggak peduli dan tertarik dengan kehidupan pribadi orang lain, tapi kali ini ... aku nggak bisa untuk nggak peduli."
Ponsel di mejaku bergetar menampilkan nama Mahesa di layar, tali alih-alih menjawab, aku langsung mematikannya. Tak lama kemudian ponsel itu kembali berbunyi.
"Mahesa is calling you. Kenapa nggak diangkat?"
Sesaat kami berpandangan, sebelum akhirnya dia beranjak pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi.
"Han, aku ... di parkiran. Bisa ketemu?" Tanpa basa-basi Mahesa langsung berkata saat aku menjawab panggilannya.
"Aku udah pulang."
"Udah sejak tadi aku di sini, tapi nggak ngeliat kamu keluar." Lelaki itu bersikeras.
"Sejak kapan kamu menjadi penguntit?" Aku menahan diri untuk tidak meninggikan suara, takut Orion masih berada tidak jauh dari tempatku berada.
"Sejak ... akhirnya aku berhasil menemukanmu, Han."
"Kamu ... gila! Kita udah nggak ada urusan lagi, Kak. Semua hal yang pengen kamu tahu udah aku jelasin waktu itu. Tolong, fokuslah ke hidupmu dan aku juga mau lanjutin hidupku!"
"Aku udah berusaha, Han. Tapi sulit. Aku nggak bisa." Lelaki itu mengembuskan napas berat. Jelas sekali dia seperti menahan perasaannya. Setahun pernah hidup di bawah atap yang sama, membuatku cukup hapal kebiasaannya.
"Kamu bentar lagi akan nikah sama Gita."
"Aku nggak bisa lupain kamu, Han," bisiknya sedih, tapi terdengar sangat lantang di telingaku. Tanpa bisa dicegah, air mataku menggenang tiba-tiba.
"Terus apa? Kamu ingin aku melakukan apa?" tanyaku letih. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Mahesa membuat energiku tersedot habis.
Keheningan tercipta selama beberapa waktu. Hanya helaan napas beratnya yang terdengar jelas dari seberang telepon.
"Aku ingin hidup tenang tanpa bayang-bayang masa lalu lagi, Kak. Tolong, jangan pernah hubungi aku lagi." Aku membuka suara setelah tak ada respon apa-apa darinya.
"Apa ... apa kamu membenciku, Han?"
Aku terdiam lama. Dari semua emosi yang pernah kurasakan pada Mahesa, membencinya jelas tidak termasuk. Aku tetap tidak pernah bisa membencinya setelah semua yang terjadi. Aku hanya kecewa. Sangat kecewa sampai-sampai tak bisa diwakilkan dengan kata apa pun juga.
"Han?"
"Nggak, aku nggak benci sama kamu. Aku hanya nggak ingin berurusan lagi denganmu."
Itu ungkapan paling jujur dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku hanya ingin melanjutkan hidup dengan tenang, tanpa harus dibayang-bayangi masa lalu. Soal rasa cinta yang mungkin masih tertinggal, biar pelan-pelan kukikis seiring berjalannya waktu.
"Apa ... apa nggak ada kesempatan lagi buat kita, Han?"
Hatiku kembali berderak patah saat mendengar pernyataannya. Mungkin sejak perpisahan itu, Mahesa juga sama menderitanya sepertiku. Namun, tak ada jalan lagi untuk kembali. Tembok penghalang yang memisahkan kami terlalu tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)
Chick-LitHarumi pernah gagal dalam pernikahan. Demi mengobati luka hati, dia pindah kota dan memulai hidup baru sebagai bagian dari tim Wedding Story (WeSto) sebuah wedding organizer yang baru berkembang di Jakarta. Namun, hidup memang penuh dengan kejutan-k...