Orion memilih meja di sayap kanan, hanya berjarak dua meja dari tempat Mahesa dan teman-temannya berada. Aku mencoba untuk bersikap santai dan tidak mempedulikan lelaki itu, meski dari sudut mata aku menyadari dia tengah mengawasi kami.
"Mbak mau makan apa?"
"Aku minum saja. Nggak makan." Mataku memindai daftar menu yang harganya empat kali lipat dari menu warung depan WeSto. Sekali makan dan minum paling tidak, habis dua ratus ribu rupiah. Dalam kondisi cekak seperti ini, jelas bukan pilihan bijak.
"Emang nggak lapar?"
Aku teringat nasi padang yang kumakan kemarin sore. Pagi tadi hanya sarapan sepotong roti seharga lima ribuan dan kopi sachet di pantri WeSto sebagai pengganjal perut. Kalau boleh jujur, saat ini aku memang lapar sekali.
"Nggak."
Orion tampak tak percaya, tapi tak berkata apa-apa. Dia menyebutkan sejumlah menu beserta minuman yang kupilih saat pelayan menghampiri meja kami.
Sambil menunggu pesanan datang, aku memilih menekuri ponsel. Tak berminat membuka obrolan dengan Orion yang sedari tadi mengamatiku seakan-akan aku barang antik yang terpajang di museum.
"Uhm, Mahesa itu ... mantan suami Mbak Rumi, ya?" Dia membuka suara seraya mengetuk-ngetukkan ujung jarinya di meja.
"Apa dia belum bisa move on?" kejarnya dengan nada penuh antusias. Aku seketika mengangkat wajahku, sedikit terkejut mendapat pertanyaan semacam itu darinya.
"Tentu saja sudah move on, buktinya dia akan menikah sebentar lagi." Aku mencoba tertawa santai, tak ingin Orion berasumsi aneh-aneh.
"Oh, kalau gitu ... berarti Mbak Rumi yang belum bisa move on?" tembaknya langsung seraya meneliti wajahku. Sorot matanya terlihat sangat penasaran.
Telingaku memanas seperti terkena aliran listrik. "Dari mana kamu nyimpulin kayak gitu?"
"Nggak sulit, kok. Beberapa kali aku lihat saat kalian bertemu, Mbak Rumi mukanya pasti sedih," ucapnya santai. Sesantai seolah-olah kami hanya membicarakan hal remeh temeh soal cuaca.
"Biasa aja. Kamu aja yang sok tahu," kilahku dengan muka cemberut. Entah mengapa aku merasa terusik dengan rasa ingin tahunya yang besar.
Lelaki itu hanya mengedikkan bahu. Namun gurat penasaran masih membayang jelas di wajahnya. Beberapa kali kudapati pandangannya tertuju pada meja Mahesa. Aku menahan diri untuk tidak ikut menoleh, karena tidak bisa menjamin hatiku akan baik-baik saja setelahnya.
Pikiranku masih tertuju pada penjelasan Mahesa soal rumah Yai. Bagaimana bisa rumah yang sudah tergadai itu, bisa kembali padaku? Apa dia yang menebusnya? Kalau iya, aku tidak yakin Mama Ning tahu, karena perempuan itu pasti menentang habis-habisan.
Terkadang aku menang merindukan rumah Yai, tapi saat teringat betapa pahitnya kenangan masa lalu, rasanya tak ingin menginjakkan kaki lagi ke kota itu.
"Ayo, makan, Mbak," tawar Orion saat pelayan datang menghidangkan pesanan.
"Lho, aku, kan, nggak pesan makanan?" Aku keheranan saat seporsi nasi dan soto Betawi terhidang di hadapanku.
"Aku yang mesenin. Baru sehari pindah dari kost-anku, Mbak Rumi udah kurus." Dia nyengir seperti sengaja menggoda.
"Lebay banget sih, kamu." Tak urung aku tertawa juga melihat ekspresinya.
"Nah, gitu, dong! Ketawa. Jangan kusut melulu mukanya." Dia tersenyum hangat saat menatapku. Mengingat betapa dingin sikapnya kemarin, rasanya aneh saja dia bisa bersikap secair ini.
Senyumku langsung surut. Apa dia tidak sadar kalau salah satu penyebab mukaku selalu kusut itu karena dia? Utang Ayah yang entah bagaimana caraku untuk membayarnya, serta sikap sok tahunya yang menyebalkan itu membuatku sukar tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)
Romanzi rosa / ChickLitHarumi pernah gagal dalam pernikahan. Demi mengobati luka hati, dia pindah kota dan memulai hidup baru sebagai bagian dari tim Wedding Story (WeSto) sebuah wedding organizer yang baru berkembang di Jakarta. Namun, hidup memang penuh dengan kejutan-k...