Bab 30. Warisan Utang (b)

563 39 11
                                    


Lelaki itu terdiam, tapi tatapannya lurus padaku.

"Jadi ... ayahku pernah ke sini?" lanjutku dengan suara bergetar menahan kecamuk di dalam dada. 

"Ya." Dia menghela napas berat saat berkata.

"Beliau pernah nginap seminggu di sini, dan bilang padaku ... untuk jagain Mbak Rumi."

"Apa ... apa motormu yang hilang itu ... ayahku yang mencurinya?" Kali ini aku tak kuasa mengangkat wajahku. Mataku mengabur oleh air mata yang menggenang tiba-tiba. Rasa malu luar biasa menggerogoti hatiku.

"Hm."

"Be ..  rapa total kerugian yang ditimbulkan ayahku?" Aku memberanikan diri menatapnya.

Wajah lelaki itu tampak muram saat berkata, "Totalnya nggak banyak, tapi karena semua itu barang pemberian Sobo, jadi nggak bisa dinilai."

"Selain motor ... apa ada lagi yang lain?"

Orion terdiam lama, tampak serba salah, tapi akhirnya dia bersuara juga. "Lima buah jam tangan, sepatu dan beberapa potong pakaian."

"Ya, Tuhan!" desahku putus asa.  Aku berharap lantai yang kupijak, terbelah saat ini  juga dan langsung menenggelamkanku ke dasar bumi.

Selama hampir setahun jadi rekan kerja Orion, aku bukan orang bodoh sehingga tidak mengenali brand apa saja yang melekat di tubuhnya. Yang jelas itu semua bukan barang murah yang banyak dijual di distro-distro  biasa.  Gajiku berbulan-bulan bahkan tidak mampu membeli sebuah jam tangan miliknya. Belum lagi motor sport keluaran Italia itu.

"Saat ini. .. aku memang nggak punya uang untuk mengganti semua kerugianmu, tapi aku berjanji akan membayarnya." Aku berkata sungguh-sungguh, seraya mengumpulkan sisa-sisa harga diri yang berserakan.

"Oh, ya?" Lelaki itu menatapku dalam dengan ekspresi wajah datar. Dia kemudian melipat kedua tangannya di depan dada, gestur yang membuatku agak merasa terintimidasi.

"Baiklah kalau begitu. Berarti kita harus menghitung berapa total harga semua barang yang dicuri itu. Hitungan kasarnya, mungkin sekitar tiga atau empat ratus juta. Itu kerugian materi saja, belum lagi kerugian non materi karena semua barang-barang itu adalah pemberian Sobo." Nada suaranya semakin lama semakin terdengar mengintimidasi.

"Bagiku kerugian non materi nggak bisa dinilai dengan rupiah."

Aku menelan ludah dengan susah payah. Setetes air mata meluncur begitu saja, dan langsung kuseka dengan kasar.

"Ah, aku jadi kayak orang jahat karena udah bikin Mbak Rumi nangis." Dia menghela napas panjang, sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Tapi mau bagaimana lagi? Mbak Rumi sendiri yang membuatku terpaksa bilang semuanya."

"Aku berjanji melunasi semua utang ayahku." Aku berusaha terlihat tegar. 

"Kapan?"

"Secepatnya."

"Secepatnya? Aku butuh waktu yang pasti. Seminggu? Dua minggu lagi?" Dia seolah sengaja merongrongku. 

Aku meremas jemari gelisah. Dari mana kudapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dua minggu?

"Kenapa? Nggak bisa ngasih kepastian?"

Lidahku kelu tak bisa menjawab pertanyaannya.

"Gini aja, Mbak pegang uang berapa saat ini? Jadiin aja itu DP. Transfer ke rekeningku semuanya."

Aku menatapnya tak percaya. Sungguh tidak menyangka dia setega itu. Uang di rekeningku saat ini tak lebih dari lima belas juta rupiah. Hanya nol koma sekian persen dari total utang yang ditinggalkan Ayah. Bagaimana mungkin aku menyerahkan semuanya? Bagaimana aku hidup tanpa uang sepeser pun?

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang