BAB 9 ~ MAHESA

405 53 2
                                    

Aku masih ingat hari itu. Hari pertama bertemu Mahesa di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa. Walau beda jurusan, dan dia dua tingkat di atasku, tapi kami sama-sama aktif di Lembaga Pers Mahasiswa. Dia ketua dan aku sebagai anggota baru. Sama seperti kebanyakan mahasiswi lainnya di LPM, aku pernah berada pada tahap naksir dan kagum pada Mahesa pada pandangan pertama.

Dia menarik tentu saja. Dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh centi meter, dan postur tubuh proporsional, Mahesa terlihat menonjol di antara mahasiswa yang lain. Kulitnya khas Indonesia, tidak terlalu gelap dan juga tidak terlalu terang, dengan garis wajah yang tegas tapi menawan.  Sepasang mata yang terlihat cerdas dinaungi alis tebal dan rapi. Terkadang dia memakai kaca mata, yang membuatnya terkesan sangat intelek

Setelah mengenalnya lebih jauh, ternyata tidak hanya tampilan fisiknya saja yang membuatku jatuh hati, tapi bagaimana caranya membawa diri di tengah-tengah kami. Mahesa tipikal cowok yang tahu kalau dirinya menarik, tapi tidak memanfaatkan kelebihannya itu untuk tebar pesona. Dia sangat cerdas, ramah dan tidak pelit berbagi ilmu.

Bisa dibilang Mahesa itu wujud nyata cowok yang ada dalam khayalan para gadis. Perpaduan tampan, cerdas dan baik hati. Oh, jangan lupakan garis keturunannya. Ayahnya pernah menjabat sebagai rektor di kampus kami, sedangkan ibunya punya sekolah kepribadian.

Bisa ditebak perempuan introvert sepertiku hanya berani menyukainya diam-diam. Aku memang punya level berbeda-beda dalam menilai cowok, dan tipe seperti Mahesa berada pada level tertinggi alias sangat susah untuk digapai. Dia sejenis cowok yang hanya bisa dijadikan bahan "halu berjamaah" dan jadi topik pembicaraan tak habis-habis bersama sesama pengagum lainnya.

"Hari ini, Kak Hesa pakai kemeja biru. Cakep banget!"

"Eh, kemarin malam, dong, gue ketemu Kak Hesa di toko buku, terus dia nyapa gue. Aaa, jadi grogi!"

"Lo tau nggak, kabarnya si Vio anak Sastra Inggris ngejar-ngejar Kak Hesa, tapi ditolak."

"Vio? Vio yang pernah jadi model itu? Serius ditolak?"

"Ya, iyalah. Wong gue dengar sendiri dari sumber terpercaya."

"Ah, modelan Vio aja ditolak apagi remahan rempeyek kayak kita."

Itu hanyalah sekelumit pembicaraan cewek-cewek pengagum Mahesa kalau sudah berkumpul. Aku biasanya hanya menyimak tanpa berkomentar apa-apa. Namun setiap informasi sekecil apa pun kucatat baik-baik dalam memori.

Hingga seiring berjalannya waktu, akhirnya masa-masa naksir setengah mati pada Mahesa terlewati juga. Aku sudah bisa menetralisir perasaanku saat kami terlibat kegiatan di kampus, dan menganggapnya hanya sebagai senior yang baik saja. Mahesa hapal nama lengkapku saja, itu sudah lebih dari cukup. Ada satu hal yang membuatku merasa istimewa, dia lebih suka memanggilku dengan nama depanku yaitu, Hana. Bukan Harumi. Dan dia satu-satunya yang memanggilku begitu.

"Mahesa."

"Harumi." Aku berusaha tersenyum wajar dan menampilkan sikap profesional saat lelaki itu menyalamiku.

Telapak tangannya yang hangat dan lebar menggenggam erat. Aku tak tahu, apakah dia dapat merasakan tanganku yang gemetaran dalam genggamannya. Namun yang jelas aku bisa menangkap riak keterkejutan di matanya kala tatapan kami bertemu. Sama sepertiku, agaknya dia juga tidak menyangka kami akan bertemu di sini.

Setelah palu hakim diketuk, dan kami kembali menjadi dua orang asing, aku langsung memutus hubungan dengannya dan semua orang di kota itu. Menukar semua kontak yang membuat orang-orang di masa lalu terhubung denganku. Nomor ponsel, email, akun media sosial, semua kuganti baru saat akhirnya memutuskan pindah ke sini. Aku ingin mengubur masa lalu, dan memulai hidup baru sebagai perempuan single tanpa seorang pun tahu kehidupan pribadiku.

Siapa sangka, saat aku baru mulai menata hidup, dengan cara tak terduga, satu persatu orang-orang di masa lalu muncul di hadapanku. Pertama Ayah, sekarang Mahesa.

Entah skenario apa yang sudah direncanakan Tuhan untukku. Yang pasti, aku ibarat sedang berada di sebuah kapal yang tengah berlayar tenang di bawah langit yang cerah, tapi dalam hitungan detik, tiba-tiba muncul awan hitam yang menjelma hujan badai. Seketika aku terguncang hebat. Terkejut, sekaligus tidak sempat menyelamatkan diri. Aku terjebak di bawah badai, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari sana.

Mahesa. Mengapa harus aku yang harus membantu mewujudkan pernikahan impian calon istrinya?

"Well, kami pamit dulu, ya, Mbak Astri dan Mbak Rumi."

Gita langsung menggandeng lengan Mahesa seraya tersenyum pada kami.

Ah, lengan itu yang dulu selalu mendekapku erat. Tempat ternyaman di mana aku bisa sejenak melupakan kesedihan setelah Ibu tiada. Lengan yang membantuku bangkit dari keterpurukan.

"Oh, iya, Mbak Gita. Silakan. Secepatnya catatan dari Mbak Gita kami revisi lagi." kata Astri ramah, sementara aku hanya ikut mengangguk dan tersenyum seperti orang bodoh

"Oke, terima kasih."

Perempuan itu kembali memamerkan senyum menawan pada kami sebelum akhirnya berlalu.

Akui akui, Gita benar-benar menawan. Calon istri yang pantas mendampingi Mahesa yang tampan dan terpelajar. Menantu paling ideal versi mamanya yang sangat mengutamakan etika. Tutur kata dan cara Gita berjalan saja sangat anggun, tanpa dibuat-buat. Seolah-olah dia memang terlahir seperti putri keraton.

Aku pikir waktu tiga tahun itu terlalu singkat untuk bisa membuka hati setelah mengalami pahitnya perpisahan. Namun, aku keliru. Mungkin itu hanya berlaku bagiku, tapi Mahesa tidak. Ada banyak perempuan hebat yang antri menggantikan posisiku di hatinya. Buktinya dalam kurun tiga tahun, dia sudah menemukan calon istri.

"Perfect couple banget, ya, Rum." Astri juga terkesima melihat pasangan itu, sama sepertiku.

Dari kejauhan kulihat Mahesa membukakan pintu mobil untuk Gita, dan memastikan perempuan itu duduk dengan nyaman, baru kemudian menutupnya. Sewaktu dia membuka pintu mobil untuk dirinya sendiri, sekilas dia menoleh ke arah kami dan mengangguk sopan. Tanpa sadar, seperti ada yang tergores di hatiku. Dia masih Mahesa yang sama. Gentle sekali.

"Kayaknya mereka memang sudah ditakdirkan untuk saling memiliki. Sama-sama good looking dan berkelas," desah Astri dengan nada memuja. Dia terus mengawasi hingga akhirnya mobil yang membawa mereka menghilang di tikungan.

Aku hanya mengangguk. Lidahku kelu tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun juga. Aroma parfum Mahesa seolah masih tertinggal. Wanginya tak berubah sama sekali. Mengingatkanku pada hari-hari indah yang pernah kami rajut bersama.

"Pada akhirnya, sesama good looking ya akan saling menemukan satu sama lain. Nggak bakal ada, deh, kayak gue, sukanya yang good looking kayak Mahesa, tapi sendirinya bad looking!" Astri tertawa keras. Mungkin merasa geli sendiri.

"Siapa bilang bad looking? Cantik gini." Aku menjawil pipinya. Selama mengenalnya tiga tahun belakangan ini, Astri memang sudah empat kami gagal dalam hubungan asmara.

Dia sendiri yang memutuskan hubungan-hubungan itu, karena katanya sudah tidak lagi sejalan. Tapi kami semua di WeSto tahu, kalau Astri tipe pembosan dan mudah berpaling pada lelaki lain yang menurutnya lebih tampan.

"Udah, ah. Balik, yuk! Udah sore." Aku melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul setengah enam.

Tak ada yang kuinginkan saat ini selain mandi berendam di air hangat. Meluruhkan segala emosi mengacaukan suasana hati. Kemudian bergelung di kasurku yang nyaman, berharap dapat melupakan guncangan hari ini, dan bisa tetap tegar berdiri menghadapi hari esok yang mungkin tak akan mudah dijalani.

-tbc-

Di kbmapp sudah hampir tamat akun saya lia_musanaf

Di karyakarsa juga tayang dengan nama yang sama @LiaMusanaf

Tengkiu 😚



LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang