Amplop yang diberi Orion baru kubuka beberapa hari kemudian dan jumlahnya membuatku terbelalak. Masa hanya menemani dia kerja tanpa melakukan apa-apa honornya bisa tiga juta rupiah? Perasaanku jadi tak enak. Apa ini hanya cara dia untuk mengembalikan uang sewa kost yang kutransfer tempo hari?
"Ini kebanyakan." Aku memotret foto amplop berisi uang tersebut, lalu mengirimkan pesan padanya.
Tak berapa lama pesanku dibaca.
"Emang sewajarnya segitu. Honornya emang gede, kok," balasnya kemudian.
Aku memutar mata sebal. Meski tidak menggeluti dunia fotografi tapi aku yakin sekali honor untuk asisten sepertiku tidak mungkin sejumlah itu. Lagipula, pembayaran yang dilakukan klien biasanya via transfer bank. Orion pasti sejak awal sudah mempersiapkan uang dalam amplop itu, bahkan sebelum kami ke tempat Bian.
"Asisten yang nggak ngelakuin apa-apa, dapat honor tiga juta dalam satu sesi pemotretan? Aku pasti cepat kaya kalau kerja beginian." Aku mengirimkan pesan itu disertai emotikon mata mendelik ke atas.
Orion hanya membalasnya dengan emotikon tertawa sebanyak tiga buah.
"Aku nggak bisa menerimanya."
"Mbak kok gitu amat, sih?"
"Aku nggak bisa nerima uang gitu aja tanpa kerja."
"Kan nemenin tadi itu udah termasuk kerja."
"Gini, deh. Kasih aku kerjaan yang sepadan dengan uang yang udah terlanjur kamu kasih."
Lama tak ada jawaban. Bahkan setelah menunggu dua puluh menit kemudian yang kulakukan sambil merapikan kasur, membersihkan wajahku dan memakai krim malam, Orion tak kunjung membalasnya.
Sudah hampir pukul sepuluh saat ini, tidak mungkin aku keluar menemuinya. Meski kamarnya berada hanya sekitar sepuluh meter dari pintu kamar ini.
Ngomong-ngomong soal kamar Orion, aku tak tahu persis, isi dan bentuknya seperti apa. Hanya saja, hingga detik ini dia masih belum memindahkan semua barangnya dari kamar yang kutempati sekarang. Perabotan di ruangan sebelah juga sama, masih seperti saat awal aku datang.
"Kalau Mbak mau masak, itu semua isi kulkas silakan dimasak," katanya waktu itu.
Isi kulkasnya melimpah ruah, dari makanan beku, sampai daging, sayuran dan buah-buahan segar. Siapa sangka lelaki yang terkesan cuek itu, rutin belanja seperti yang diakuinya tempo hari?
Kalau dia tidak mau aku mengembalikan uang honor itu, mungkin sebaiknya aku mengembalikan dengan cara memasak makanan dan mencuci pakaiannya setiap hari. Ya, mungkin lebih baik begitu.
Aku menghela napas lega memikirkan ide tersebut, dan bersiap-siap tidur saat sebuah kesadaran tiba-tiba menghampiriku. Memasak dan mencuci untuknya?
What?
Bukankah itu seakan-akan kami seperti .... Aku seketika merinding memikirkannya. Tidak! Ide itu terlalu riskan, mengingat bahwa bagaimana pun juga dia bukan siapa-siapaku. Dan aku tidak ingin menciptakan celah apa pun yang membuat kami jadi akrab atau apa pun itu.
Memang, sih, dia tidak pernah lagi melontarkan godaan konyol soal menikah seperti yang selalu dia lakukan di kantor dulu, tapi tetap saja aku merasa risih menyadari fakta kalau aku berutang budi dan terpaksa tinggal seatap dengannya.
Ah, andai saja aku bisa menemukan pekerjaan lain secepatnya dan punya uang yang cukup untuk menyewa tempat tinggal baru tanpa harus melibatkan uluran tangan orang lain, tentu aku tidak akan mau berlama-lama di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)
Literatura FemininaHarumi pernah gagal dalam pernikahan. Demi mengobati luka hati, dia pindah kota dan memulai hidup baru sebagai bagian dari tim Wedding Story (WeSto) sebuah wedding organizer yang baru berkembang di Jakarta. Namun, hidup memang penuh dengan kejutan-k...