BAB 22 ~ TAK AKAN MENYERAH

393 62 8
                                    

Di Karyakarsa dan KBMAPP sudah tamat ya, baru saja saya memosting, EPILOG yang merupakan bagian terakhir dari cerita ini. 🥰

🍁🍁🍁

Meski tidak seempuk kasur busa, tidur di tumpukan kardus ternyata tak buruk-buruk amat. Aku mencoba memejamkan mata, walau kantuk tak kunjung datang karena pikiranku terus mengembara. Merenungi betapa berlikunya takdir yang harus kujalani.

Baru semalam hidupku terguncang karena kasus memalukan di tempat kost lama, dan harus berakhir tidur di ranjang Orion. Seakan belum cukup, sore ini Mahesa memaksaku mengorek luka lama yang belum sepenuhnya mengering dan membuat mataku nyalang meski sudah hampir tengah malam.

"Kapan Ibu terakhir kali merasakan gerakan bayinya?" Masih terekam jelas di ingatan, wajah Dokter yang memeriksaku tampak sedikit tegang.

"Pagi kemarin masih terasa, Dok. Walau lemah, nggak seperti biasanya."

Usia kehamilanku sudah memasuki tujuh bulan waktu itu. Meski harus berjuang sendirian, aku bertekad untuk tetap mempertahankan bayi yang kukandung, alih-alih menyingkirkan seperti saran Mama Ning.

"Maaf, ya, Bu. Kita harus melakukan persalinan sekarang."

"Maksudnya, Dok?" Aku menatapnya keheranan.

"Anaknya ... udah nggak ada. Udah meninggal," ucapnya hati-hati dengan raut prihatin. "Saya turut berduka."

Aku membeku di ranjang pasien, rasanya tak percaya kalau calon bayi yang kusayang-sayangi itu sudah tidak ada lagi.

"Me ... ninggal? Bagaimana bisa? Kemarin ... kemarin masih bergerak," tangisku pecah saat itu juga.

"Sabar, ya, Bu. Kasus terlilit tali pusar kayak gini cukup sering terjadi...."

Tak lagi bisa kutangkap penjelasannya lebih lanjut. Langit seperti runtuh tepat di hadapanku. Calon anak yang sangat kusayangi, karena itu satu-satunya peninggalan berharga dari Mahesa harus kehilangan nyawanya karena kelalaianku. Seharusnya aku lebih sering mengontrol  perkembangannya ke klinik, alih-alih menghemat uang karena tabungan kian menipis.

Dadaku seperti diimpit oleh batu besar. Sakit dan sesak sekali rasanya. Air mataku mengalir semakin deras tak terbendung lagi

"Suami Ibu di mana? Biar diurus admistrasi-nya."

"Saya ... saya sendirian, Dok," ucapku pilu.

"Baiklah. Saya mengerti." Dia mencoba tersenyum, tanpa bertanya lebih lanjut. Mungkin dia sudah sering menghadapi pasien dengan kondisi kurang lebih sepertiku. Hamil tanpa didampingi oleh suami atau kerabat. 

Beberapa waktu kemudian, di antara hidup dan mati, aku mempertaruhkan nyawa melahirkan bayi perempuan yang tak sempat kuberi nama itu.

Dulu aku cukup sering melihat pasien tak mampu melahirkan di klinik Yai. Mirip dengan kelahiranku dulu. Wajah-wajah menahan kesakitan yang nyaris tak tertanggungkan, tapi nyala harapan tetap berkobar di mata mereka, karena setelah itu akan menimang bayi lucu yang selama berbulan-bulan berada di kandungan. Tak sepertiku saat ini yang harapan sudah terlanjur padam, bahkan sebelum sempat dinyalakan.

Ibu mana yang sanggup menerima kenyataan kalau bayi yang dilahirkannya tak sempat menghirup udara di dunia ini?

"Tolong ... tolong bantu saya untuk mengurus pemakamannya, Dok." Aku mencium jemari mungil bayi tak berdosa itu untuk terakhir kalinya. Air mataku kering sudah, menyisakan rasa bersalah dan penyesalan yang terus menghantuiku hingga kini.

Terkadang ada masa-masa di mana aku ingin memutar waktu dan berpikir kalau seandainya aku mengambil keputusan berbeda, akankah bayi kami bisa diselamatkan?

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang