Cerita ini sudah tamat di Karyakarsa akun saya Lia musanaf
Dan di kbmapp akun saya @lia_musanaf. 😘🍁🍁🍁🍁
Mereka yang tidak tahu bagaimana menangis dengan sepenuh hati, juga tidak tahu bagaimana cara tertawa - Golda Meir
****
"Maafin Mama, ya. Beliau orangnya memang ceplas-ceplos, tapi sebenarnya hatinya baik, kok, hanya belum kenal sama kamu aja."
Itu yang dikatakan Mahesa dulu saat mengantarku pulang, setelah bertemu mamanya.
"Aku hanya nggak nyangka, kalau kamu belum ngomong sama sekali tentang rencana pernikahan sama keluargamu. Wajar saja Mama kaget ... atau bisa jadi beliau sebenarnya udah punya calon buat kamu."
Mahesa menyeka sudut mataku yang basah dengan wajah bersalah.
"Kita hadapi sama-sama, ya, Han. Aku akan perjuangin kamu sampai Mama luluh dan menyetujui rencana kita."
Seharusnya saat itu aku memilih mundur dan kami berpisah baik-baik, alih-alih menyetujui sarannya untuk meluluhkan hati Mama Ning. Masih belum terlambat untuk menyelamatkan hati masing-masing, karena hubungan kami juga baru terhitung enam bulan.
"Aku nggak ingin berada pada posisi yang membuatmu terpaksa melawan orang tuamu sendiri."
"Nggak, kok. Aku nggak akan melawan Mama, tapi aku akan meyakinkan beliau untuk bisa menerima pilihanku." Mahesa tampak teguh dengan pendiriannya. Hal yang membuatku jadi berani lagi berharap.
Apalagi yang diharapkan oleh seorang perempuan selain diperjuangkan dengan sungguh-sungguh oleh orang yang dia cintai? Bagiku waktu itu Mahesa memenuhi hampir semua kriteria suami idaman. Dia baik, sopan, pintar dan tentu saja tampan. Seperti kata Ibu, aku beruntung dia memilihku.
Tidak sampai dua bulan kemudian, akhirnya kami menikah. Entah bagaimana cara Mahesa meyakinkan mamanya hingga akhirnya menyetujui pernikahan kami. Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri oleh keluarga terdekat saja. Hal yang menurutku agak janggal, mengingat keluarga Mahesa cukup terpandang dan punya relasi yang luas. Tidak lama setelah akad nikah, Mama Ning mengajakku bicara empat mata.
"Kalian masih muda, Mahesa juga baru meniti karir, belum mapan banget. Jangan punya anak dulu. Tunda paling tidak dua tahunan ini."
Aku yang sama sekali tidak punya pengetahuan yang cukup soal itu, hanya menurut saja saat Mama Ning mengajak ke dokter kandungan untuk konsultasi pencegahan kehamilan yang cocok untukku.
"Kamu harus disiplin danberhati-hati, dan jangan sampai Mahesa tahu, kalau tidak mau terjadi keributan."
Betapa naifnya aku dulu. Membiarkan Mama Ning bertindak semaunya pada tubuh dan juga rumah tanggaku. Sedikit pun aku tak punya keberanian untuk menolak. Pun memberi tahu Mahesa seperti apa ibunya memperlakukanku.
Kelenjar air mataku sepertinya sudah kering, hingga tak ada lagi air mata yang menetes. Namun rasa sakit di masa lalu, kembali menusuk hatiku. Dan rasanya masih sama.
"Ini kita ke Jalan Swadaya, ya, Mbak?" Pertanyaan Orion menarikku kembali dari pusaran kenangan.
"Iya, bentar lagi sampai, kok." Aku menunjuk jalan pintas menuju tempat indekos-ku
"Jadi, Mbak Rumi nge-kos di sini?" Nada suara Orion terdengar agak terkejut. Dia memang baru sekali ini ke sini, sedang aku sudah beberapa kali ke tempatnya karena dia sering minta tumpangan.
Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling indekosku yang berada di sebuah kompleks perumahan. Bangunan tiga lantai itu terdiri dari dua puluh empat kamar. Tiap lantai terdiri dari delapan kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)
Literatura FemininaHarumi pernah gagal dalam pernikahan. Demi mengobati luka hati, dia pindah kota dan memulai hidup baru sebagai bagian dari tim Wedding Story (WeSto) sebuah wedding organizer yang baru berkembang di Jakarta. Namun, hidup memang penuh dengan kejutan-k...