BAB 16 ~ KENANGAN PAHIT

416 55 6
                                    

Banyak hal yang tak bisa kulupakan dari masa lalu saat bersama Mahesa. Berupa kenangan manis dan pahit. Akan tetapi yang banyak melekat di ingatan justru kenangan pahitnya.

Ibu bilang, aku beruntung memiliki Mahesa. Lelaki itu tidak hanya sayang dan peduli padaku, tapi pada ibuku juga. Sayangnya Ibu tak sempat menyaksikan pernikahan kami, karena Yang Maha Kuasa lebih dulu memanggilnya beberapa bulan menjelang pernikahan kami.

Bagi Ibu, Mahesa sosok yang dia percaya akan bisa menjaga dan meyayangiku sampai akhir hayat. Namun, perlakuan Ibu ke Mahesa sangat berbanding terbalik dengan perlakuan Mama Ning padaku. Baginya aku hanya perempuan yang akan meredupkan masa depan anaknya.

"Kalian akan menikah?" Nada suaranya melengking saat Mahesa mengutarakan niatnya untuk menikahiku waktu itu.

"Iya, Ma."

"Kamu baru dua puluh enam tahun. Masih sangat muda. Masih panjang karir yang bisa kamu capai. Masa baru saja diangkat jadi kepala cabang di kabupaten, sudah merasa hebat dan langsung kepengen nikah?"

Aku tak tahu kalau sebelum mengajakku menikah, ternyata Mahesa belum bicara dengan ibunya sama sekali. Alhasil aku yang berada di sebelahnya, hanya bisa meremas jemari dengan gugup saat Mama Ning menceramahinya habis-habisan.

"Apa lagi yang harus ditunggu, kalau sudah ketemu orang yang tepat, Ma?" ucap Mahesa hati-hati, lalu dengan penuh keteguhan lelaki itu meraih jemariku dan menggenggamnya erat.

Mama Ning terbelalak saat memandangi anaknya. Dia tampak sangat tak terima dengan alasan itu. Setelahnya dia memindaiku dari ujung kaki ke ujung kepala.

"Orang yang tepat? Memangnya sudah berapa lama kalian pacaran dan saling mengenal? Baru sekali ini kamu membawa perempuan ke rumah, dan langsung minta ijin untuk menikah. Mama benar-benar nggak habis pikir."

"Kami ... nggak pacaran. Tapi aku sudah cukup lama mengenal Hana. Sejak kami masih kuliah."

Sesaat kami bertatapan. Hatiku menghangat ketika menyadari betapa teguhya tekad lelaki itu, yang terpancar jelas dari sorot matanya

"Maaf, ya, Hana. Bukannya saya tidak menghargai kamu. Tapi, bagi keluarga kami, pernikahan itu bukan main-main. Bukan hanya antara kalian berdua saja, tapi juga antar keluarga besar. Tidak hanya asal suka dan cinta, terus menikah tanpa melibatkan pendapat keluarga sama sekali. Saya perlu tahu latar belakang keluarga kamu."

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Apa yang dikatakan Mama Ning benar adanya. Tak kusangkal sedikit pun.

"Saya mengerti, Bu."

"Baguslah kalau kamu mengerti. Boleh tinggalkan kami bicara berdua saja?" ucapnya pada Mahesa

"Tapi, Ma ...." Mahesa tampak sangat keberatan.

"Ini urusan sesama perempuan. Mama hanya perlu bicara sedikit dengan Hana." Mama Ning menyunggingkan senyuman yang entah mengapa lebih mirip seringaian maut padaku.

Mahesa kembali menatapku dalam-dalam, seperti memberi kekuatan sebelum akhirnya beranjak dari ruang tamu super mewah di kediaman orang tuanya itu. Seketika aku berubah bagai terdakwa yang menunggu vonis dari hakim di bawah tatapan tajam Mama Ning.

"Saya tidak akan berbasa-basi," ucapnya dengan nada datar. "Kamu tahu, kan, kalau Mahesa itu anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami. Sebagai orang tua, kami menumpukan banyak harapan padanya. Papanya berharap Mahesa melanjutkan kuliah lagi dan mengikuti jejaknya sebagai akademisi. Dia cerdas dan punya kompetensi untuk itu."

Aku hanya mengangguk sambil tertunduk.

"Sejujurnya kami tidak terlalu setuju dia memilih karir sebagai karyawan bank, tapi ya sudahlah untuk setahun dua tahun coba-coba, sebelum akhirnya diarahkan lagi ke tujuan awal. Hanya saja, saya tidak menyangka, setelah kami beri sedikit kelonggaran, dia justru tiba-tiba minta ijin untuk menikah."

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang