Bab 30. Warisan Utang (a)

545 38 6
                                    

Setelah memastikan kamar Orion yang kutempati selama beberapa minggu ini rapi dan bersih, aku keluar sambil membawa barang-barangku. Ada tiga koper dan dua kardus, yang entah ke mana akan kutitip untuk sementara karena aku belum punya tujuan sama sekali.

Aku terkejut mendapati lelaki itu sudah ada di meja pantri sedang menyeduh kopi. Dia tampak segar dengan kaus biru dan celana pendek selutut. Rambutnya tampak agak basah, mungkin baru selesai mandi.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Sofa dan meja tempat kami makan yang semalam masih agak berantakan, sekarang sudah bersih dan rapi. Semenjak tinggal di sini, sedikit banyak aku bisa menilai kalau Orion pecinta kerapian.

Dia menoleh saat menyadari kehadiranku. Kami berpandangan sejenak sebelum tatapannya beralih pada koper yang berada di dekat kakiku. Ekspresinya tak terbaca, padahal aku sudah mempersiapkan kalimat apa yang akan kukatakan kalau-kalau dia membahas soal kepindahanku.

"Aku bikin kopi, Mbak mau?" Dia menunjuk secangkir kopi yang masih utuh di meja.

"Aku juga baru saja memanaskan roti yang Mbak beli semalam," lanjutnya saat membuka microwave. Harum aroma roti membuatku tiba-tiba lapar.

Sedikit ragu aku mendekat, lalu duduk di hadapannya. Bagaimanapun juga, aku harus pamit baik-baik pada Orion. Mungkin sarapan bersama untuk terakhir kalinya di sini tidak ada salahnya, toh sikapnya juga biasa saja, seakan-akan tidak ada kejadian apa-apa semalam.

Selama aku tinggal di sini, kami memang hampir tiap pagi bertemu di dapur ini. Tidak selalu duduk satu meja, sih. Terkadang saat aku sarapan, dia menumpang mencuci pakaian. Atau saat dia menyeduh kopi, aku sibuk menjemur pakaianku. Meski ada saat-saat kami sarapan bersama, seperti pagi ini.

Tak ada yang berniat membuka pembicaraan terlebih dahulu. Sama halnya denganku yang malas bersuara, Orion sepertinya juga lebih memilih fokus dengan sarapannya.

Detik demi detik berlalu, hingga setelah aku menghabiskan sarapan, aku bersuara juga.

"Oh, ya. Ini kunci kamarnya kukembalikan. Aku makasih banget sama kamu, udah ngijinin aku tinggal disini selama tiga minggu ini." Aku menyodorkan benda itu padanya.

"Tempat tidur dan kamar mandi sudah kubersihkan. Sudah rapi seperti pertama kali aku ke sini," lanjutku kemudian saat melihatnya hanya diam saja.

Orion menaruh cangkirnya ke meja dengan hati-hati, lalu menatapku lekat-lekat.

"Kenapa harus kayak gini, sih, Mbak? Apa penawaranku semalam masih belum jelas?"

Oh, akhirnya dia menyinggung juga soal semalam. Melihat kesungguhan pada sorot matanya, entah mengapa aku agak sedikit gentar. Namun, aku tidak boleh lemah. Pengalaman hidup mengajarkan banyak hal, salah satunya untuk tidak mudah percaya. Dulu Mahesa juga sungguh-sungguh saat melamar dan menikahiku, tapi apa yang kudapat? Penolakan dan penghinaan luar biasa dari keluarga terutama ibunya.

"Aku rasa semalam aku juga udah jelasin semuanya padamu, termasuk soal statusku."

Aku menabahkan hati, agar tidak terbawa perasaan. Bukannya aku malu menyandang status janda, tapi tinggal di masyarakat yang seringkali memandang remeh pada perempuan yang berstatus sepertiku, membuatku harus lebih mawas diri.

"Lalu kenapa memangnya? Apa dengan status itu mengubah nilai Mbak sebagai perempuan? Bagiku hal itu nggak penting sama sekali."

Aku terpana mendengar ucapannya yang tegas dan sungguh-sungguh. Namun, tetap saja akal sehatku tidak bisa menerima. Aku yakin sekali, sama seperti pemuda naif seusianya, Orion hanya mengikuti dorongan sesaat tanpa memikirkan resiko dari keputusannya.

"Kamu masih muda, kenapa harus buru-buru menikah? Lagipula kamu bisa mendapatkan gadis yang sepadan denganmu, bukan janda sepertiku. Well, aku anggap saja kita nggak pernah bahas masalah ini. Aku hanya ingin pamit baik-baik dan berterimakasih padamu karena sudah menolongku."

Aku bangkit dari kursi tidak ingin berlama-lama lagi di sini.

"Mbak mau pindah ke mana? Memangnya sudah punya tempat untuk dituju?"

Aku tertegun, tak tahu harus menjawab apa.

"Biar aku antar kalau gitu." Dia ikut bangkit dari duduknya dan berdiri tepat di sebelahku.

"Nggak usah. Makasih, tapi aku naik taksi saja."

"Oke kalau Mbak pindah, tapi ijinkan aku mengantar sekalian memastikan kalau Mbak tinggal di tempat yang aman."

"Kenapa kamu suka banget ikut campur? Aku bisa pergi sendiri, dan aku hanya ingin pamit baik-baik. Tolong mengertilah!" ucapku letih.

"Apa aku ini virus yang harus Mbak hindari?" tukasnya tajam menusuk.

"Aku nggak nganggap kamu virus, tapi aku hanya nggak suka kamu ikut campur urusan pribadiku!"

"Aku bukan ikut campur ... aku hanya mau nepatin janjiku sama Ayah Mbak Rumi."

"Ayah?" Aku terkejut bukan main. "Ba ... bagaimana kamu bisa berjanji sama ayahku?" Perasaanku mendadak jadi tidak enak, saat bayangan kemeja lusuh di lemari Orion menari di pikiran.

-tbc-

Cerita ini udah tamat di KBMAPP dan Karyakarsa ya ❤️

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang