BAB 25 ~ MISTERI KEMEJA TUA

358 52 5
                                    

Setelah membersihkan diri dan mengibas-ngibaskan ranjang empuk beralaskan bed cover warna hitam itu,  aku membaringkan tubuh dengan hati-hati.

Ini kali kedua aku tidur di ranjang Orion, tapi rasanya masih seperti baru pertama kali. Mungkin karena dulu aku tidak sadar saat dia membawaku ke sini.

Ada perasaan ganjil saat aku menghirup aroma khas kamar ini. Dari bed cover dan bantal tercium perpaduan antara parfum yang biasa dipakainya, pewangi pakaian dan pengharum ruangan.

Aku buru-buru bangkit, merasa risih sendiri karena meniduri ranjang yang biasa ditiduri Orion. Rasanya kami begitu dekat dan intim, seolah-olah dia juga berada di ranjang yang sama, tengah mengawasiku. Jantungku berdebar-debar gelisah. Ini tidak benar, seharusnya aku tidak menerima tawarannya. Seharusnya aku tetap di gudang WeSto. Namun, teringat kecoa yang sempat menggerayangi kakiku tadi, nyaliku menciut seketika.

Demi mengusir perasaan tak menentu yang berkecamuk di hati, aku mengambil bed cover dan sarung bantal milikku dari koper dan memasangnya. Meski aroma Orion tak sepenuhnya hilang, tapi cukup tersamarkan.

Mataku sukar sekali terpejam, sibuk mengamati seluruh ruangan kamar seluas kira-kira lima kali lima meter ini. Untuk ukuran lajang, kamar Orion sangat rapi dan tertata. Semua barang tersusun pada tempatnya masing-masing.

Tak kutemukan gantungan pakaian di belakang pintu, atau handuk yang terjemur atau tergeletak sembarangan. Kamar ini juga tidak memiliki banyak perabot, hanya ada ranjang, lemari pakaian besar dan tinggi serta sebuah meja kerja. Cermin melekat pada separuh bagian lemari, sehingga memberi kesan luas, karena merefleksikan kembali bentuk ruangan. Di samping lemari, terdapat pintu yang menuju kamar mandi minimalis dengan standar seperti kamar mandi di hotel berbintang.

Aku jadi bertanya-tanya sendiri, berapa uang yang harus dikeluarkan untuk bisa tinggal di kost-an seperti ini?

Karena kantuk tak kunjung datang, aku memilih untuk bangkit mengitari kamar, hingga langkahku terhenti saat mengamati dua figura foto di meja. Pertama foto Orion bersama Sobo saat dia masih kecil, mungkin waktu masih berusia sepuluh tahun. Satu lagi fotonya masih bersama Sobo yang sepertinya diambil baru-baru ini.

Tak ada foto orang tuanya sama sekali. Apa mungkin Orion yatim piatu? Namun setidaknya kalau orangtuanya sudah meninggal tetap biasanya ada foto mereka bukan?

Bukannya bermaksud tidak sopan dengan mengacak-acak barang pribadi orang lain, tapi aku penasaran saat berdiri di depan lemari besar yang sedikit terbuka. Tanpa sepenuhnya sadar, tanganku sudah terulur begitu saja membuka pintunya.

Hanya ada susunan pakaian yang didominasi warna hitam dan putih, di sana. Saat akan menutup pintu, tatapanku terpaku pada kemeja lusuh dan robek di bagian kerahnya terlipat rapi di dalam kantong plastik bening, di rak bawah dekat lututku. Darahku berdesir karena merasa sangat familiar dengan kemeja tersebut.

Menilik gaya keseharian Orion yang selalu berpakaian rapi dan stylish, jelas kemeja itu bukan miliknya. Dugaanku dulu kalau Ayah mungkin membuat ulah lagi semakin kuat saja. Mengingat betapa tidak tahu malunya ayahku, bukan tidak mungkin dia dulu pernah menginap di sini, yang berujung dengan pencurian motor Orion.

Tubuhku menegang gelisah  Merasa sangat malu dan juga terhina. Ya, Allah, kapan Ayah bisa tobat dan berhenti membuat masalah?

Bisa ditebak aku tidak bisa tidur semalaman memikirkan berbagai kemungkinan. Aku ragu apakah masih punya muka bertemu dengan Orion besok pagi. Untuk menanyakan langsung perihal kemeja itu, juga tidak mungkin, kecuali aku harus menebalkan muka mengakui sudah lancang membuka-buka lemarinya.

Aku akhirnya tertidur juga dini hari dan terbangun oleh jeritan alarm yang memekakkan telinga. Rasa kantuk masih menggelayut di mata, saat aku menyeret langkah ke kamar mandi.

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang