"I said, let's get married!" Nada suaranya rendah tapi tegas. Matanya terkunci padaku. Aku buru-buru memalingkan wajah, berusaha kuat mengabaikan detak jantungku yang tiba-tiba saja seperti bergemuruh.
Seperti de javu, aku teringat saat dulu Mahesa tiba-tiba mengajakku menikah sesaat setelah kami sampai di parkiran. Tanpa aba-aba atau pun pertanda. Semua begitu mendadak sehingga aku kelabakan sendiri, karena tak punya persiapan apa-apa.
"Kamu ... nggak lagi mabok, kan?" Hanya kalimat itu yang terlintas di benakku saat ini, setelah berhasil menenangkan riuh di dalam dadaku.
Orang berpikiran waras, tentu saja tidak akan melontarkan perkataan seperti yang diucapkan Orion barusan.
Menikah? Orang normal mana yang mengajak menikah di tengah malam buta begini? Apalagi alasannya agar aku tidak pindah dari sini. Apa jangan-jangan, kekonyolannya saat di WeSto dulu kembali kumat?
"Aku serius. Dari dulu aku selalu serius, meski mungkin Mbak Rumi dan anak-anak di WeSto menganggap itu hanya candaan."
Aku kesulitan mencerna semua ini, jadi yang bisa kulakukan hanya melongo seperti orang kebingungan.
"Menikahlah denganku. Tinggal di sini, biar aku nggak perlu khawatir lagi Mbak harus tinggal di mana atau apa Mbak lagi kesusahan. Biar aku bisa jaga Mbak Rumi," ucapannya terdengar sungguh-sungguh.
Menjagaku? Apa dia pikir menikah sesederhana itu?
"Kamu pikir kamu pahlawan?" Aku tertawa getir.
Sebagai orang yang sudah kenyang dihina dan pernah diperlakukan seenaknya, aku sulit menerima alasan Orion. Aku sudah mengalami banyak hal buruk dalam hidupku dan berhasil melewatinya. Pindah dari sini, bukan masalah besar sama sekali. Lagipula, aku masih punya sedikit uang untuk menyewa kost-an murah di pinggir Jakarta. Toh, dulu saja aku sudah pernah tinggal di kost sempit dalam keadaan hamil besar dan aku baik-baik saja.
"Aku nggak merasa sebagai pahlawan." Orion tampak terluka. Mungkin tidak menyangka aku akan berkata seperti itu.
"Kalau begitu, berhentilah mengatakan omong kosong seperti tadi!" ucapku dingin.
"Apa bagi Mbak Rumi, ajakanku menikah hanya hal omong kosong? Aku belum pernah seserius ini sebelumnya."
Ya, mungkin dia benar. Selama mengenalnya, aku juga belum pernah melihatnya seserius ini saat bicara. Namun, otakku yang sudah terlanjur terprogram untuk tidak mudah mempercayai siapa pun, berusaha keras menyangkalnya.
"Bagiku ajakan menikah dari bocah sepertimu hanya omong kosong. Kamu masih sangat muda, tahu apa kamu soal menikah? Kuliahmu saja belum selesai."
Aku melipat tangan di depan dada, dan menatapnya tajam. Sikap yang kuanggap sebagai mekanisme pertahanan diri. Tak akan kubiarkan siapa pun menerobos benteng pertahanan yang susah payah kubangun selama ini.
"Berhentilah menganggapku seperti bocah ingusan!" Dia mendengkus sebal.
"Usiaku sudah dua puluh empat lebih. Mbak juga nggak usah sok tua, dan merasa kayak udah nenek-nenek. Usia Mbak hanya tiga tahun di atasku." Lelaki itu tampak sangat tersinggung. Wajahnya berubah keruh dan sorot matanya yang tajam membuatku tiba-tiba bergidik.
Selama beberapa saat kami berpandangan dalam diam, seakan mengukur kedalaman hati masing-masing.
"Aku nggak menuntut Mbak Rumi menjawab sekarang, tapi tolong pertimbangkan. Kalau pun Mbak nggak mau, kasih alasan yang masuk akal, bukan soal usia atau karena aku belum tamat kuliah. Mungkin aku memang belum mapan, tapi aku sudah bekerja. Aku bisa menghidupi kita berdua, dan aku berjanji Mbak Rumi nggak akan kekurangan apa-apa." Nada suaranya perlahan melunak
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)
ChickLitHarumi pernah gagal dalam pernikahan. Demi mengobati luka hati, dia pindah kota dan memulai hidup baru sebagai bagian dari tim Wedding Story (WeSto) sebuah wedding organizer yang baru berkembang di Jakarta. Namun, hidup memang penuh dengan kejutan-k...