BAB 8 ~ Suara dari Masa Lalu

301 48 2
                                    

"Ada apa, sih? Kok kamu kayak gitu banget ngeliatin Chandra? Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan soal ayahku?"

Mirip balon yang tiba-tiba kempes, seperti itulah perasaanku saat ini. Segala sesuatu mengenai Ayah, selalu membuatku tak berdaya. Gundah dan was-was pada saat bersamaan. Aku takut Ayah melakukan kekacauan lagi, yang berdampak besar pada kehidupanku.

"Nggak, kok. Emang mau nyembunyiin apa coba?" Orion menjawab tanpa menatapku. Dia sibuk mengobrak-abrik kotak bekal berisi salad, dan memilih semua potongan wortel di sana.

"Kamu jujur, ya. Kalau ayahku melakukan tindakan yang ... aneh atau ada hal yang bikin kalian nggak nyaman kemarin itu, tolong bilang padaku!"

Aku tak menyangka nada suaraku bisa bergetar saat berkata. Luapan beragam emosi yang tumpang tindih di dada membuatku rasanya ingin menangis.

"Nggak ada yang aneh, kok."

Entah mengapa jawaban Orion terasa sangat  meragukan.

Tanpa bisa dicegah, kenangan masa lalu yang pahit kembali melintas di kepala. Kenangan yang tak hanya membuat harga diriku berada di titik terbawah, tapi juga membuatku kehilangan muka di hadapan Mahesa dan keluarganya.

Kami masih dalam masa-masa mereguk manisnya hidup sebagai pengantin baru saat itu. Baru beberapa bulan menikah, tapi percikan-percikan api mulai tersulut karena kelakuan Ayah, ditambah lagi keluarga Mahesa, terutama ibunya tidak terlalu menyukaiku.

"Itu kenapa dari dulu Mama tekankan ke kamu,  pentingnya mempertimbangkan bibit, bebet, bobot calon istri sebelum ngajak dia nikah ... sekarang, baru kerasa kan, kamu? Kelakuan mertuamu aja memalukan kayak gitu, apa kamu bisa jamin kelakuannya nggak nurun ke anaknya?"

Masih kuingat dengan jelas tiap patah kata yang terlontar dari mulut mantan ibu mertuaku itu. Menyakitkan, tapi setelah bertahun-tahun kemudian, aku bisa sedikit memahami mengapa dia marah. Ayah memang keterlaluan, tak memikirkan dampak dari setiap apa pun tindakannya.

Dicerca langsung di depan hidung sendiri itu sangat memalukan. Mentalku langsung down, tapi tak ada setetes air mata pun yang jatuh. Mungkin saking terpukulnya, hingga air mata pun seperti langsung mengering.

Mahesa hanya diam saja. Aku tahu, meski dia mencintaiku dan bisa menerima semua kekuranganku, tapi dia tak akan mau berbantahan dengan mamanya.

"Atas nama Mama, aku minta maaf padamu. Sifat Mama emang kayak gitu, tapi kamu tahu, kan, kalau aku sangat mencintaimu?" Setelah mamanya pulang, dia baru berani bersuara.

"Ya, aku mengerti," ucapku lirih, dan berupaya melukis senyum.

Padahal yang kubutuhkan saat itu, sedikit pembelaannya di hadapan sang mama, bukan kalimat pemakluman, setelah aku dicerca habis-habisan.

"Kok Mbak Rumi malang bengong? Nggak diabisin makannya?"

Terlambat! Seleraku sudah menguap sejak tadi. Aku mendorong kotak bekal itu padanya. "Aku nggak lapar. Kamu habisin aja."

"Lho, kok, jadi aku yang habisin? Ini kan bekal Mbak Rumi?"

"Ya, tapi kan kamu selalu minta."

"Tapi, bukan berarti aku mau ngabisin semua. Hanya pengen nyicipin doang, kok, sambil nemenin Mbak makan. Anggap saja latihan sebelum nanti kita udah nikah dan makan bareng di rumah."

Terdengar tawa tertahan Astri di sebelah.

"Aku udah nggak selera."

"Kenapa?"

"Karena kamu. Aku jadi nggak selera makan karena kamu! Segala tentang kamu bikin mood-ku buruk!"

Sebenarnya aku tak ingin melampiaskan emosiku yang kacau balau pada Orion. Akan tetapi karena dia terus saja mengoceh, membuatku kesal sendiri.

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang