BAB 2 ~ DUA HARUMI

554 77 6
                                    

Setelah menyelesaikan semua urusan dengan vendor yang terlibat pada acara resepsi, aku akhirnya bisa bernapas lega. Betisku rasanya sakit sekali karena seharian mondar mandir di ballroom hotel memastikan semua berjalan dengan sempurna. Sebagai asisten andalannya, ini kali pertama aku dilepas boss-ku Mbak Sofie menghandle berjalannya acara. Pagi tadi tiba-tiba saja perempuan itu menelpon mengatakan kalau tidak bisa hadir karena diare.

Meski ada teman-teman WeSto lainnya yang bekerja secara profesional, tetap saja aku sedikit gugup karena ditugaskan mengkoordinir mereka semua.

Baru saja sampai di parkiran, aku langsung disambut oleh senyum menyebalkan Orion, lelaki yang tadi sempat membuat moodku berantakan.

"Mbak, nebeng, ya!" sapanya tanpa basa-basi.

Aku hanya mendengus, seraya memutar bola mata dengan jengkel.

Dia langsung membukakan pintu mobil untukku.

"Mbak pasti capek. Biar aku yang nyetir," lanjutnya.

"Dih, GR banget kamu. Memangnya yang mau ngasih tumpangan siapa?"

"Jangan galak-galak, Mbak. Nanti kualat." Dia tertawa memamerkan deretan gigi putih yang rapi. Ada ceruk samar di kedua pipinya saat tertawa. Dia cukup tampan, kalau saja sikapnya tidak urakan dan menyebalkan seperti ini. Dengan tinggi sekitar seratus delapan puluhan dan tubuh proporsional, dia lebih cocok jadi atlit. Jadi model iklan skin care pria juga sepertinya cocok, mengingat betapa bersih dan terawatnya kulitnya.

Bukannya aku perhatian atau bagaimana. Maksudku ada banyak pekerjaan yang mungkin jauh lebih bagus di luar sana yang bisa dia dapat hanya dengan modal penampilan, tapi kenapa dia justru memilih jadi fotografer?

"Mbak, mana kuncinya?" Suaranya memutus lamunanku.

Aku menghela napas panjang, tapi akhirnya memberikan juga kunci mobil itu padanya.

Sepanjang perjalanan aku mendadak migrain mendengar Orion yang terus saja mengoceh sambil sesekali mengikuti lirik lagu yang terdengar dari tape.

Semua hal tak luput dari komentarnya, mulai dari pengendara di depan kami yang tidak pakai helm, hingga publik figur yang fotonya terpampang di papan iklan raksasa.

"Mbak ngantuk, ya? Kalau ngantuk tidur aja." Ia bertanya kemudian, setelah hampir setengah jam aku diam saja tak menanggapi ocehannya.

"Mana bisa tidur kalau kamu ngoceh mulu?"

Ia tertawa sambil mengusap-usap kepalanya. "Sorry. Ya, udah tidur, gih! Ntar kalau sampai aku bangunin."

Sejurus kemudian lelaki itu benar-benar mengunci mulutnya rapat-rapat.

"Kamu dari lahir emang kayak gini, ya?" ucapku kemudian. Rasanya aneh juga melihat Orion diam seperti ini.

"Kayak gini, gimana?" Ia menoleh, menatapku dalam-dalam, sebelum kembali fokus ke jalanan.

"Ngoceeeh mulu."

"Masa? Barusan kan aku diam," ucapnya kalem. Sungguh tidak seperti Orion yang biasa.

"Kenapa? Mbak pengen tahu, ya, gimana kisah hidupku?" Ada nada yang sangat kukenali saat dia bicara begitu.

Sesaat kami berpandangan. Benar saja, dia kembali memberi tatapan yang persis sama seperti saat dia biasa mengisengiku.

"Ck! Udahlah!" Aku memejamkan mata, mencoba tak menghiraukan bocah aneh yang suka bersikap semau-maunya, dan sering kali memancingku utuk mengomelinya itu. Namun, kali ini aku sedang tak berminat meladeninya.

"Kalau aku ajak singgah bentar, please jangan nolak ya, Mbak. Aku benar-benar minta tolong."

Orion tiba-tiba membelokkan mobil ke sebuah halaman di sebuah perumahan di daerah Kemang.

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang