Sambil terus mensugesti diri, aku menoleh pada perempuan itu. Kami sama-sama manusia, sama-sama makan nasi, mengapa aku harus takut padanya?
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Aku bertanya sopan dengan sikap profesional, seakan kami dua orang asing yang tidak pernah saling kenal. Aku juga memanggilnya dengan Ibu, bukan Mama seperti saat masih menjadi menantunya.
Namun, sayangnya saat kami bertatapan, pertahananku langsung goyah. Seperti menantang matahari, sungguh aku tak sanggup menatap matanya. Dia begitu kuat, begitu mengintimidasi. Alhasil, aku akhirnya tertunduk juga. Kalah.
"Bisa kita bicara berdua saja?" Dari nada suaranya yang dingin, aku segera sadar bahwa dia tidak ingin Orion juga berada di sini.
Aku menoleh pada Orion yang tengah menatap kami penasaran, lalu memberinya kode agar meninggalkanku berdua saja dengan Mama Ning.
Awalnya lelaki itu tampak agak keberatan, tapi akhirnya dia beranjak juga seraya berkata lirih, "Kalau Mbak butuh apa-apa, aku ada di depan situ."
"Saya tidak menyangka kalau ketemu kamu di sini," ucapnya tanpa basa-basi, setelah Orion menjauh.
"Kok bisa kamu yang menangani perrnikahan anak saya?" lanjutnya dengan nada tak suka.
Jawaban apa yang harus kuberi? Kalau bisa menerawang masa depan, tentu aku tidak pernah mau menjadi orang yang akan menangani pernikahan mantan suamiku.
"Mbak Gita yang memilih kami. Saya juga tidak tahu kalau pengantin prianya adalah Mahesa," cicitku lemah. Ya, Tuhan aku benci merasa tak berdaya seperti ini di hadapan Mama Ning.
"Sekarang kamu sudah tahu, terus apa kamu bisa bersikap profesional? Saya tidak mau kamu justru mengacaukan semuanya."
Seharusnya aku tidak perlu terkejut mendengar tudingan tajam itu, karena dulu sudah kenyang oleh semua cemoohan dan kata-kata tidak mengenakkan darinya. Namun, setelah kami sudah tidak terikat hubungan apa-apa lagi, tetap saja aku tidak menyangka dia masih sesinis itu padaku.
"Kenapa saya harus mengacaukannya? WeSto adalah WO profesional, nggak mungkin saya mencemarkan nama baik tempat kerja saya sendiri," ucapku sakit hati.
"Baguslah kalau begitu. Saya hanya mau mengingatkan, karena apa pun bisa terjadi. Tiap orang bisa gelap mata dan melakukan apa saja, hanya demi kepentingannya sendiri. Kamu tentu belum lupa apa yang sudah ayahmu perbuat dulu."
"Tentu saja saya tidak lupa. Ibu nggak perlu mengingatkannya lagi. Sebagai anak, saya sudah menebus semua kesalahan ayah saya. Apa semua belum cukup?" ucapku letih. Mengorek-ngorek luka masa lalu, benar-benar menguras energiku.
"Kamu pikir itu cukup? Reputasi keluarga kami tercoreng karena kotoran yang dilempar ayahmu ke wajah suamiku!" desisnya geram.
Aku menelan ludah yang terasa pahit. Tak dapat menyangkal apa yang diucapkan Mama Ning. Tindakan ayahku dulu memang sangat keterlaluan. Menjaminkan nama besar keluarga Mahesa saat meminjam uang pada rentenir, lalu menghilang karena tak mampu membayar.
"Apa lagi yang harus saya lakukan, agar bisa menebus semuanya?" Aku berusaha keras agar tidak menangis di hadapan perempuan itu.
"Menjauhlah, sejauh-jauhnya dari Mahesa. Terserah kamu bagaimana caranya agar bukan kamu yang menangani acara pernikahannya. Ganti sama siapa, kek. Karena, selama masih kamu yang menanganinya, besar kemungkinan kamu menggodanya dan mengacaukan pernikahannya!"
"Kenapa saya harus menggodanya? Kami sudah selesai dan saya sudah melupakan semuanya." Suaraku bergetar menahan rasa pedih di hati.
"Saya tidak buta. Saya bisa lihat kalau kamu masih mencintainya."
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)
Literatura FemininaHarumi pernah gagal dalam pernikahan. Demi mengobati luka hati, dia pindah kota dan memulai hidup baru sebagai bagian dari tim Wedding Story (WeSto) sebuah wedding organizer yang baru berkembang di Jakarta. Namun, hidup memang penuh dengan kejutan-k...