1 - Kenapa, sih?

1.3K 94 3
                                    

Apa yang kalian lakuin kalau lagi galau atau gak enak hati?

Tidur?

Aku udah. Dari kemarin sore, sampai sekarang pukul 11 siang, aku sama sekali belum bangkit dari ranjang, kecuali untuk ke toilet.

Makan?

Gak bisa jajan. Uang lagi menipis. Minta ibu atau bapak, bisa diusir. Jangan. Malu.

Jadi, apa yang aku lakuin untuk menghadapi suasana hati yang lagi gak enak ini?

Nyari masalah baru dengan stalking akun medsos orang-orang dari masa lalu. Mampus. Rasanya luar biasa begah.

Gimana nggak? Mereka-mereka udah pada sukses. Ada yang udah S2, ada yang baru jalan-jalan dari luar negeri. Ada yang baru punya baby, ada juga yang baru nambah anak. Ada yang beli mobil baru, ada juga yang baru selesai bangun rumah.

Lantas aku?

Kutaruh ponsel di atas kasur. Menatapi langit-langit kamar, mataku menangkap ada beberapa titik yang sudah jadi rumah permanen laba-laba, alias banyak sawang-sawangnya. Dan perlu diketahui, ini bahkan bukan kamarku sendiri.

Ini kamar di rumah bapak dan ibu. Alias, sampai sekarang, aku masih numpang. Kenapa? Kenapa di dunia ini cuma aku yang menderita?

Kenapa bisa orang-orang menjalani hidupnya dengan mudah dan meriah? Sedangkan aku, udah berusaha semurah mungkin--biaya hidup--tetap aja kadang harus minjem.

Menghela napas lelah, aku kembali memegangi ponsel. Kembali memeriksa akun-akun orang yang dulu sempat kukenal. Dan berjam-jam setelahnya kuhabiskan untuk mengatai diri bodoh, menahan rasa malu juga iri dan cari tahu di mana bisa beli tuyul second.

***

"Kenapa bisa gak tahu kalau hari ini hari pertama?"

Repetan itu aku dengar saat sudah dekat dengan parkiran mini market. Pada si oknum cerewet yang bicara, aku hanya bisa melirik tajam.

Seperti yang kuduga, suasana hati yang gak enak kemarin adalah pertanda kalau periode datang bulan sudah dekat. Dan benar saja. Tanpa aba-aba, sore ini aku mengalami tragedi berdarah.

Masalahnya, aku hanya menduga kemarin. Tak menjadikannya sebagai prediksi untuk membuat persiapan. Alhasil, aku mengotori motornya Rexi, laki-laki yang barusan mengomeli.

"Udah dipakai pembalutnya?"

Menatap wajahnya yang datar itu, rasanya ingin kutarik saja kelopak matanya atau sekalian bibirnya. Memangnya aku minta berhenti di mini market untuk apa?

"Mau lihat?" tantangku kurang ajar.

Laki-laki itu langsung membalik tubuh dan memanjangan lengan untuk bisa menjangkau pipiku dengan tangan. Pipiku dijepitnya sampai bibir yang gak seksi ini moyong mirip ikan.

"Aku lipat bibir kamu, ya," ancamnya sok galak. Sok melotot pula. Memang aku takut? Dulu, iya. Sekarang, gak lagi.

Aku menepis tangannya. Kulihat jok sepeda motor yang tadi sempat terkena darah kotor. Sudah bersih.

"Di-lap pakai apa?" tanyaku.

"Menurutmu?" Rexi melepaskan jaketnya.

Aku gak tahu apa susahnya memberikan jaket itu dengan cara normal. Kenapa harus dilempar, padahal jarak kami gak jauh. Kenapa harus dilempar dan mengenai wajahku?

"Pakai," katanya tanpa rasa berdosa.

Hanya demi gak malu, aku mengikatkan jaketnya si Rexi ke pinggang. Tebersit keinginan untuk kabur saja, pulang sendiri. Tapi, sayang ongkosnya. Nanti bisa dipakai untuk beli yang lain.

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang