Aku jengkel. Jadi, sengaja wajan dan gelas yang baru kucuci ini agak dibanting pas waktu meletakkannya. Juga, waktu memadamkan api kompor, sengaja kuputar sekencang mungkin, kalau bisa sampai suaranya sampai ke lantai satu, ke telinganya si Rexi.
Aku kesal padanya. Sudah tiga hari ini dia mengomeliku. Sifat aslinya sudah kelihatan, padahal ini baru beberapa belas hari kami menikah. Dia sudah berubah!
Kalau dia mengomel untuk sesuatu yang besar seperti aku lupa menyiapkan makanan, mungkin bisa dimaklumi. Ini, lelaki sok bijak dan sok paling pandai bergaul itu merepet karena aku menolak mengantar bolu pada tetangga di kiri dan kanan ruko.
Kan aneh? Sangat tidak bermanfaat. Terlampau mengada-ada untuk dibuat jadi masalah.
Maksudku, untuk apa aku bersikap sebaik itu pada orang asing? Sekadar lempar senyum pas ketemu kan sudah cukup? Ini, Rexi meminta aku mengantar makanan, memperkenalkan diri, lalu mengobrol sebentar.
Entah apa tujuan pria itu melakukan ini semua. Kurasa, dia cuma sengaja cari-cari masalah, supaya rumang tangga baru kami ini punya bunga-bunga. Dia bosan damai sepertinya.
Dasar aneh!
Karena dia tak berhenti memaksa dan mengomel, aku jadi mendiamkan dia sejak kemarin. Kusiapkan makanan, tetapi gak mau menghidangkan. Biar dia ambil sendiri! Aku tetap cuci piring, sapu dan ngepel lantai atas, tetapi sengaja dengan gerakan yang lumayan kasar, supaya ada suara benda dibanting dan dia tahu kalau aku lagi marah.
Setelah semua itu, tahu apa reaksi suamiku tercinta?
"Bi, mandiin, dong?"
Uh! Mendidih aku. Rasanya ingin sekali kutarik dia ke kamar mandi, lalu kuceburkan ke dalam bak. Biar dia mandi sampai tenggelam di sana.
Enak saja minta dimandikan, setelah merepeti aku tak henti-henti. Laki-laki satu itu amnesia atau apa, ya? Dia lupa sudah mengatakan apa saja padaku?
"Kamu nggak bisa begini, Bi. Berubah, dong. Udah nikah juga."
Begitu kata dia kemarin. Seolah aku ini manusia dengan karakter paling buruk sedunia. Padahal, aku pernah kuliah di kampus yang mengedepankan pembangunan karakter. Menghina sekali jantan satu ini.
"Bi!"
Dia berteriak dari kamar mandi. Aku pura-pura tidak dengar dan hanya memicing ke sana.
"Ogah!" tolakku dengan wajah puas.
Aku berdiri dari tepian ranjang. "Aku mau jalan-jalan. Kamu, tuh, harus berubah. Masak udah nikah, masih minta dimandiin?"
Terakhir, tak lupa aku menjulurkan lidah padanya. Mampus, dikau wahai suami durjana. Melenggang dengan langkah ringan, aku keluar dari kamar. Lebih baik jalan-jalan, lalu jajan, membahagiakan diri sendiri.
***
Waktu pergi tadi, aku sama sekali gak memprediksi akan turun hujan. Jadi, gak bawa payung dan sengaja berlama-lama makan es krim di mini market. Namun, sekarang, hujan turun deras sekali.
Malah sudah gelap. Di ponsel menunjukkan pukul tujuh malam. Dingin pula. aku ingin segera pulang, tetapi gengsilah menghubungi Rexi dan minta jemput.
Laki-laki itu bahkan tak mencariku. Tak mengirimi pesan atau menelepon. Seolah kepergianku ini bukan apa-apa untuknya. Kenapa, ya, dia bisa segitu gak pedulinya?
Apa dia udah ketemu cewek yang mau mandiin dia?
Asumsi itu membuatku mengkhayalkan gambaran kamar mandi rumah, di mana Rexi ada di sana bersama seorang perempuan cantik.
Uih! Panas. Gerah.
Berdiri di pelataran mini market, aku mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah, sementara hujan masih turun dan angin berembus lumayan kencang. Pria yang ikut berteduh di sampingku sampai melirik. Mungkin, dia mengira aku makhluk aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Yes?
RomanceNiatnya ingin cari suami kaya raya, minimal CEO. Atau bos preman galak, tetapi bucin juga boleh. Namun, hidup itu kenyataan. Dari banyaknya pria di dunia, ada satu yang nekat ingin menghabiskan hidupnya denganku. Namanya Rexi. Ganteng, meski gak pu...