16 - Terciduk

362 62 19
                                    

Aku keluar dari ruang ganti dengan perasaan berdebar. Berjalan pelan, aku melihat Pak Aksa masih berdiri di tempat semula. Kami bertemu pandang. Aku resah menanti tanggapannya.

Satu kali lagi membantu Pak Aksa. Sore ini aku diajak ke acara resepsi pernikahan salah satu temannya. Pak Aksa membelikan satu gaun. Yang sekarang sedang kukenakan.

Gaun itu panjangnya satu senti di bawah lutut. Berwarna merah muda dengan bagian dada dilapisi kain tile. Aku suka. Apa Pak Aksa akan berpendapat sama?

"Kamu nyaman dengan gaun itu, Abigail?"

Aku mengangguk. "Pantas gak?"

Pak Aksa gak menjawab. Matanya malah terlihat menajam. Kemudian, dia bicara pada pegawai toko. Meminta paper bag untuk tempat baju yang kupakai dari rumah, sekalian membayar gaun yang kini aku pakai.

Apa ini artinya dia suka dengan gaun merah muda ini?

Demi memastikan penampilanku gak akan membuat dia malu, di mobil, ketika kami sedang menuju tempat resepsi, aku memberanikan diri bertanya.

"Penampilanku gak akan bikin Bapak malu, 'kan?"

"Tidak." Dia menjawa tanpa menatapku.

"Serius, Pak? Bapak bahkan gak lihat saya."

Laju mobil kami melambat, kemudian berhenti. Lelaki itu menatap padaku.

"Kamu cantik, Abigail."

Haduh. Kenapa pujian itu terdengar tulus, ya? Apa itu hanya perasaanku saja?

Membasahi bibir, aku mengangguk kikuk. Menatapi ke luar jendela, aku gak kunjung merasakan mobil ini bergerak.

"Kenapa, Pak? Kok gak jalan?" Aku bertanya setelah merasa kami terlalu lama berhenti.

"Saya sudah boleh memalingkan wajah dari kamu? Tidak akan membuat kamu salah paham lagi?"

Bibirku mengukir senyum. Dia ini kenapa makin lucu saja?

"Iya, iya. Boleh lihat ke depan lagi," kataku dengan perasaan senang.

"Jangan suruh saya menatap kamu kalau sedang menngemudi."

"Cuma sebentar maksud saya, Pak. Memastikan Bapak sudah yakin akan bawa saya ke acara itu."

"Menatap kamu mana bisa sebentar, Abigail. Apalagi saat kamu secantik sekarang."

Oke. Jantungku rasanya mau melompat keluar. Buru-buru aku memalingkan wajah ke jendela. Menjaga bibir agar gak bicara lagi.

Tak lama setelah itu, Pak Aksa kembali menghentikan mobilnya. Kali ini mendadak,  sampai aku terdorong ke depan dan kepala nyaris membentur dashboard mobil.

"Kamu tidak apa-apa?" Pak Aksa menanyaiku.

Aku mengangguk. "Cuma kaget. Ada ap--"

Mulutku terkatup begitu saja. Di depan kami, ada sebuah sepeda motor yang mengadang jalan. Dan orang di atas motor itu kini sedang menatap marah padaku.

Aku langsung diserbu perasaan takut. Tahu si pemilik sepeda motor gak akan menyingkir, aku putuskan untuk turun.

"Rexi," panggilku. Aku menelan ludah saat mendapati rahang pria itu mengetat. Dia melirik pada Pak Aksa.

"Mau ke mana kamu, Bi?" Suara Rexi terdengar dingin. "Sejak kapan tetanggamu itu jadi sepupumu?"

Tadi, Rexi menanyaiku. Dia ingin tahu apa yang akan aku lakukan. Gak memberitahu akan pergi dengan Pak Aksa, aku bilang mau ke rumah sepupu. Aku berbohong padanya.

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang