10 - Sok Baik

319 66 9
                                    

Aku sedang menatapi layar laptop saat mendengar suara mesin mobil memasuki pekarangan rumah sebelah. Sepertinya Pak Aksa yang pulang. Aku berusaha gak terlalu memperhatikan. Mau ngapain juga?

Sebenarnya aku juga punya hak marah ke dia, 'kan? Bisa-bisanya dia biarin pacarnya melakukan hal seperti kemarin. Malah kotak bekal dan makanan basinya berasal dari dia.

Ah, Serena bilang kan jodoh cerminan diri. Mungkin, aslinya Pak Aksa itu memang mirip Serena. Sama-sama setan. Jadi, pantas mereka cocok.

"Saya kira kamu merantau."

Eh, orang yang sedang kupikirkan malah mengajak mengobrol. Aku melirik ke samping, Pak Aksa tampak berusaha menampilkan wajah ramah.

Kenapa? Tumben? Merasa bersalah? Gak perlu!

Aku gak mendengar dia bicara lagi. Namun, gak lama setelah itu dia malah muncul di teras. Duduk pula di kursi satunya, padahal aku gak mempersilakan. Mirip Serena memang dia.

"Masih marah?"

Aku gak menjawab. Asal, kutekan-tekan tombol keyboard di laptop.

"Lagi ada kerjaan?"

Kali ini aku menjawab, "Hm. Lagi nyari tutorial nyantet orang jahat."

Dia mengangguk. Aku melipat dahi kebingungan. Kenapa dia harus mengangguk? Mengejekku?

Berikutnya, lelaki itu menaruh satu batang pasta coklat seribuan di meja. Kemudian, dia pergi begitu aja. Wah, aku makin bingung.

Mau bertanya, kok, ya, aneh? Kan aku ceritanya masih marah. Gak bertanya, aku penasaran. Ah, biarkan sajalah.

Sore-sore, mulai gelap, Rexi datang. Gak ada angin, gak ada badai, datang-datang dia langsung main usap-usap kepalaku. Kenapa orang-orang pada aneh, ya?

"Capek banget. Seharian ini nggak berhenti," keluhnya sembari meregangkan otot saat sudah menempati kursi yang tadi diduduki Pak Aksa.

Aku hanya menoleh. Laptop sudah kulipat. Dia gak bohong. Rambut dekat dahinya tampak basah oleh keringat.

"Besok jalan-jalan, ya."

"Ke mana?"

"Kamu maunya ke mana?"

Berpikir sejenak, aku terpikirkan pantai. "Kamu punya banyak waktu, gak?"

"Ke mana memangnya?"

"Pantai?"

Rexi menyungging senyum. "Mau ngapain? Ritual? Kek bisa berenang aja."

Aku gak menyahut. Kalau gak mau, tinggal bilang. Kenapa harus mengejek?

"Besok aku ambil libur, deh."

Kepalaku menoleh cepat padanya. Jadi, dia setuju? Gak bisa ditahan, aku melengkungkan senyum tanda terima kasih.

Menaruh laptop di meja, aku masuk ke rumah untuk membuatkan teh. Kubawa teh itu ke depan, bersama sepiring biskuit.

"Udah dapat maunya, baru aku diservis?" sindir Rexi sebelum meneguk teh buatanku.

"Kemanisan ini, Abigail. Kamu kasih sekilo gula untuk segelas teh ini?"

Baru saja suasana hati baik. Ini sudah dibuat gondok lagi. Kalau saja gak ingat dia bersedia libur untuk menemaniku ke pantai, sudah kuusir dia sekarang juga.

"Kamu tuh kalau marah kenapa serem banget, sih, Bi?"

Mataku menyipit. Kejadian tiga hari lalu, baru dibahas sekarang? Pakai mengubah cara memanggil segala. Kalau sudah begini, artinya aku harus mendengarkan dengan serius.

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang