Di atas sepeda motor yang sedang menuju rumah, aku menghitung ulang jumlah belanjaan. Hari ini ada sedikit uang yang bisa kupergunakan. Habis dari ATM, aku langsung pergi membeli beberapa barang.
Beli beras, telur, minyak goreng dan beberapa camilan. Oke. Pas. Bersamaan dengan selesainya aku menghitung, sepeda motor juga berhenti. Aku sudah sampai di rumah.
"Taruh sini aja, Pak," kataku pada supir ojek saat beliau menurunkan sekarung beras dari jok depan motor. Aku gak mau merepotkan beliau yang kelihatan lelah.
Aku memberikan ongkos. Niatnya ingin masuk ke rumah dulu, menaruh telur dan belanjaan lain, lalu nanti mengangkat beras. Namun, aku termangu di depan pagar kayu rumah bapak saat melihat ada Rexi di ambang pintu.
Pria itu memakai sandal sambil melempar tatapan tajam ke sini. Aku masih terdiam di tempat karena sedang terkesima dengan penampilannya.
Tubuh tinggi dengan warna kulit coklat itu dibalut kemeja batik lengan panjang dengan warna hitam dan emas. Rambutnya disisir rapi ke atas, memperlihatkan kening yang lebar yang kinclong. Wah, ini Rexi mau jadi model abang-abang jawa atau bagaimana?
"Ngapain, Mas?" godaku saat dia sudah memikul beras yang kubawa.
Pria itu hanya melirik malas. Malas bercampur benci sepertinya. Kapan, sih, dia bisa kasih senyum?
"Ibu dan adikku ada di dalam."
Tadinya ingin mengekori langkahnya, aku seketika mematung lagi. Apa katanya?
"Apa, Rex?"
Dia berbalik. Meski kini ada sekarung beras di bahunya, kadar ketampanannya malah gak terganggu sama sekali. Kenapa aku baru tahu kalau dia bisa serupawan ini, ya?
"Ibu dan adikku ada di dalam. Cepetan masuk."
Kembali waspada, aku bertanya, "Mau ngapain?"
Rexi berdecak. "Ya ngelamarlah."
Woanjuan! Laki-laki gila ini.
"Rexi!" Aku menjerit, kepalang kesal. "Kamu bawa ibumu hari ini untuk lamaran?"
Dia sudah pernah mengatakan ini padaku. Katanya, akan segera membawa keluarganya untuk melamarku secara resmi pada bapak dan ibu. Rexi mau acaranya sederhana saja. Hanya dihadiri keluarga inti. Aku setuju.
Rexi memang tak menyebut pasti kapan ia kan datang. Namun, haruskah hari ini? Sekarang? Saat aku baru saja pulang habis panas-panasan?
Melihat dia mengenakan baju rapi seperti itu, ibu dan adiknya juga pasti tampil baik. Dan aku? Aku akan muncul di depan ibunya dengan keadaan begini?
Kaus basah oleh keringat, rambut bau debu dan celana olahraga. Menentang sepapan telur dan minyak goreng?
Astaga! Aku bisa paham kalau memang gak berjodoh dengan CEO, tapi haruskah jodohku lelaki yang modelan Rexi begini? Hobi sekali dia membuatku malu?
***
"Itu mobilnya, ya, Buk?" Aku menunjuk sebuah sedan hitam yang barusan melintas di depan rumah.
Buk Samara menggeleng. "Bukan, Sayang. Yang Rexi rental yang warnanya putih."
Aku mengangguk saja. Duduk di samping Rexi yang mengobrol ringan dengan bapak, aku menatapi orang-orang di sana dengan rasa tak percaya.
Dalam beberapa jam, semua sudah berubah. Pertama, statusku bukan lagi pacar orang, tetapi tunangan orang. Di jari manis tangan kiriku sudah terpasang sebuah cincin emas putih. Kedua, panggilanku ke ibunya Rexi juga sudah berubah. Bukan lagi Tante, tetapi sudah Ibuk.
Meski diwarnai kehebohanku untuk bersiap-siap, acara lamaran gila yang Rexi gagas berjalan dengan baik. Semua setuju, terlebih ibu dan bapak. Barusan acaranya rampung, kini kami duduk di teras sembari menunggu jemputan Rexi dan keluarganya.
Sejauh ini, kecuali insiden aku yang terpaksa memakai gaun seadanya untuk acara lamaran ini, semua bisa dibilang baik. Ah, ada satu lagi yang sebenarnya sedikit mengganjal. Adiknya Rexi.
Dari kesan yang aku dapat, agaknya Dea gak terlalu menyukaiku. Dia gak banyak bicara padaku. Tersenyum pun terlihat gak tulus. Nanti akan kucari tahu dari Rexi apa masalah adiknya itu.
Gak melakukan apa-apa, gak berminat juga ikut dalam obrolan bapak, ibu, buk Samara dan Rexi, aku menatap ke depan. Mobil sedan hitam yang kulihat tadi lewat lagi. Kali ini berhenti tepat di samping rumah.
Dari dalam mobil itu turun seorang laki-laki. Aku hanya mendapat visual bagian belakang kepala dan tubuhnya. Namun, entah kenapa rasanya familiar dengan orang itu.
Lelaki itu masuk ke rumah sebelah. Aku menungu sembari menatap ke teras sebelah. Antara rumah tetangga itu dan rumahku, kebetulan hanya dipasangi beton pembatas setinggi perut. Dan betapa terkejutnya aku saat orang yang tadi turun dari mobil muncul di sana.
Mata kami bertemu. Aku gak salah mengenali. Dia memang seseorang yang familiar.
Aku mengerjap satu kali, lalu membeku sewaktu dia menaikkan satu alis ke sini. Aku sibuk menerka. Itu ekspresi heran atau gak suka, ya?
"Abigail?"
Mampus. Dia mengenaliku. Kenapa bisa?
Kikuk, aku tersenyum canggung.. Dia mendekat, aku spontan berdiri seolah ingin menyambutnya. Apa sekalian kurentangkan kedua lengan?
Pria itu menyimpan dua tangannya di saku celana. Cara berdiri yang khas dia sekali. "Kamu tinggal di sini?" tanyanya.
Aku menoleh ke bapak dan ibu, kemudian berkata, "Iya. Ini rumah bapak dan ibuku, Pak."
Aksa, Pak Aksa mengangguk saja. Beliau kemudian pamit masuk ke rumah barunya, usai aku memperkenalkan dia sebagai dosen yang pernah mengajar di kampusku dulu.
Dia masuk, aku masih berdiri di dekat beton pembatas. Rasanya masih tidak percaya,sampai-sampai aku ingin teriak. Benarkah yang barusan itu Pak Aksa?
Sempit sekali dunia ini? Dari banyaknya tempat, haruskah Pak Aksa tinggal di samping rumahku? Ya, ampun! Kenapa seperti di novel-novel saja. Apa judulnya? Jodohku Tetanggaku? Sedikit dimodif, Jodohku Tetanggaku Mantan Dosenku?
Menggelikan. Menahan senyum, aku berbalik hendak duduk lagi. Di saat aku tahu kalau sekarang Rexi tengah menghunuskan tatapan tajamnya ke sini. Pria itu sedikit menunduk, tetapi pandangannya lurus padaku.
"Apa?" Entah kenapa aku harus bertanya begitu.
Alih-alih menjawab, Rexi malah membuang pandang. Dia terlihat kesal. Saat kembali menatapku, mata pria itu berkedip pelan, yang sialnya malah terlihat kejam di mataku.
Ekspresinya keras. Kedua ujung bibirnya rapat. Ada kerutan samar di dahi dan sorot matanya mengancam.
Seketika aku jadi teringat salah satu adegan di novel yang kutulis. Saat si penjahat sedang mengatur rencana jahat di kepalanya. Gambaran ekspresi yang penjahat itu buat, mirip seperti yang sekarang Rexi perlihatkan padaku.
Bukan berubah jadi CEO, apa sekarang Rexi akan berubah jadi preman? Ternyata dia adalah anggota mafia, pemilik bisnis terlarang yang terkenal kejam. Yang menikahiku demi membalaskan dendam?
Ih. Kenapa aku takut dan bukannya terpesona? Apa karena aku tahu karakter penjahat di novel itu hanya buatan, gak mungkin keluar dari buku, sementara yang di depanku sekarang adalah Rexi, laki-laki yang bisa kapan saja membuat jantung copot hanya dengan pelototan?
....
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Yes?
RomanceNiatnya ingin cari suami kaya raya, minimal CEO. Atau bos preman galak, tetapi bucin juga boleh. Namun, hidup itu kenyataan. Dari banyaknya pria di dunia, ada satu yang nekat ingin menghabiskan hidupnya denganku. Namanya Rexi. Ganteng, meski gak pu...