20 - Tes

324 62 2
                                    

Aku menyuruh Rexi datang pukul delapan. Pria itu sudah di luar saat itu. Sedang mengunjungi beberapa teman, untuk mencari pekerjaan baru, katanya. Sedikit memaksa, aku minta dia datang pagi itu juga.

Bapak dan Ibuk kebetulan lagi pergi. Cuma aku di rumah, karenanya ingin memanfaatkan kesempatan.

Rexi sampai di rumah pukul sebelas. Wajahnya tampak tertekuk. Matanya jelas menyiratkan kalau dia gak senang aku suruh datang tiba-tiba begini.

"Aku sakit, Rex. Cuma sendiri di rumah. Kamu marah aku minta bantuan temani?" Aku yang duduk di sofa menatap dia dengan ekspresi memelas.

"Sakit apa?" Dia gak langsung percaya.

"Sakit perut. Kepalaku pusing," aduku sembari merebahkan tubuh di sofa.

Terlihat memicing sebentar, Rexi terdengar menghela napas. Pria itu menghampiri. Memeriksa dahi.

"Nggak panas," komentarnya.

"Kan sakit perut sama pusing."

"Ya sudah. Kamu butuh apa?" Rexi kembali duduk di sofa.

Pria itu menghubungi Bapak. Aku sempat heran dia mau apa. Ternyata, minta izin.

"Abi sakit, Pak. Perutnya sakit, sama pusing. Aku izin temani sampai Bapak pulang."

Di tempatku, menatap dia yang memasang wajah serius ketika memberitahu Bapak, kenapa rasanya menyenangkan, ya? Sebenarnya, dia gak perlu melakukan ini. Kurasa, Bapak gak akan marah padanya, mungkin hanya akan mengomeliku.

Kenyataan bahwa Rexi berpikir sampai sejauh itu dan terkesan seolah sangat menghormati Bapak, kenapa rasanya menyenangkan, ya?

"Takut banget sama bapak, sampai izin segala. Kamu kan gak nginap." Aku bicara setelah dia selesai menelepon.

"Takut sama Bapak?" Dia balas bertanya.

Aku mengangguk. "Kamu gak izin, pun, kayaknya gak pa-pa. Takut dimarahi Bapak?"

Lelaki itu tersenyum remeh. "Bi, Bi. Apa secetek itu kamu mikirnya? Udah, butuh apa kamu?"

Aku mengulum senyum. Sebisa mungkin gak memperlihatkannya di wajah. "Aku mau baring di sini aja. Tapi, aku gak bawa selimut."

Rexi menaruh satu bantal di bawah kepalaku. Kemudian, pria itu pergi ke kamar. Keluar dari sana, di tangannya ada selimut dan guling.

Gak bicara apa-apa. dia memakaikan selimut. "Kamu bukan lagi mau datang bulan, 'kan?"

Bergelung di bawah selimut, aku menggeleng. "Gak tahu."

Rexi duduk. Dia kemudian sibuk dengan ponselnya. Gak lama, dia menelepon seseorang. Karena dia gak keluar dan bicara di depanku, aku jadi tahu kalau dia masih berusaha cari pekerjaan.

"Kenapa nggak tidur?" tanyanya setelah selesai bicara di telepon.

"Mau nonton." Aku melirik remote yang berada di atas televisi.

Dia berdiri, mengambilkannya untukku. Duduk lagi, dia kembali sibuk dengan ponselnya. Tebakanku, dia masih berusaha mengontek teman-teman atau kenalan untuk mencari pekerjaan.

"Rex,"

Dia gak jawab, tetapi matanya melirik.

"Nyesal, gak, nolak si anak pemilik bengkel?"

Lirikan selanjutnya dari dia terasa lebih tajam. "Nonton aja, Bi."

Aku diam. Pura-pura nonton selama setengah jam, kemudian membuat perintah.

"Haus, Rexi."

Dia beranjak. Pergi ke dapur, lalu membawa segelas air putih dari sana. Air hangat.

Beberapa menit setelahnya, aku bersuara lagi. "Panas," Kulempar selimut hingga ke ujung kaki.

Say Yes? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang