Habis merampungkan satu bab baru dari novel yang sedang kukerjakan, aku memeriksa tabungan. Kemarin malam aku teringat sesuatu, jadi hari ini mau memastikannya.
Selesai memeriksa, aku menemukan jumlah saldo yang mencukupi untuk melakukan sesuatu yang sudah lama kuinginkan. Jadi, aku segera menemui Ibu.
"Ibuk mana, Rik?" Aku melihat Rika di ruang tamu. Anak itu sedang menonton.
"Di teras, sama Bapak."
Pas sekali. Ada Bapak, sekalian saja. Namun, langkahku memelan saat sudah akan dekat dengan teras. Aku mengintip dari jendela. Bapak dan Ibu ternyata sedang mencabuti rumput liar di dekat pagar.
Mereka didatangi seorang perempuan. Si nenek sihir. Agaknya dia belum jera pada tamparanku kemarin. Aku sudah akan menghampiriya, sebelum gak sengaja dengar dia berucap.
"Ada yang mau saya sampaikan soal Abigail."
Soal aku? Apa yang ingin dia bicarakan tentangku pada ayah dan ibuku? Dari balik jendela, aku mencuri dengar. Beruntung jaraknya gak jauh dari tempat Bapak dan Ibuk.
"Saya cuma nggak ingin Bapak dan Ibu dibohongi terus. Apa Bapak dan Ibu tahu kenapa dulu Abigail tiba-tiba berhenti kuliah?"
Seketika tanganku gemetar. Aku mengepalkan jemari demi membendung emosi yang tiba-tiba datang berbarengan.
Apa yang akan Serena katakan? Mau bilang apa dia pada Bapak dan Ibu?
"Sebenarnya, dulu itu ada gosip di kampus."
Serena bicara tanpa merasa bersalah. Aku bersumpah, setelah ini akan kupotong lidahnya itu. Sumpah, aku sungguh membencinya.
"Ada yang bilang, Abigail itu menggoda salah satu dosen. Semua orang sepertinya percaya dan mulai menggunjingkan dia. Mungkin karena itu dia putuskan untuk nggak melanjutkan kuliah."
Lama aku menanti reaksi Bapak dan Ibuk. Selanjutnya, aku melihat Bapak berdiri.
"Maaf sebelumnya, tapi apa tujuan kamu mengatakan semua ini kepada kami?"
Serena tersenyum palsu. "Saya hanya mau membantu Abigail, Pak. Siapa tahu dia kesulitan bercerita. Saya ha--"
"Anak saya itu, mau pergi dengan pacarnya saja izin dulu. Saya merasa dia punya alasan sendiri untuk tetap menyimpan sesuatu dari kami, kalau memang ada."
"Saya cuma mau mem--"
"Anak saya bilang kamu bukan temannya. Apa kamu sulit memahami arti perkataan itu?"
Tak lama setelah itu, Serena pergi. Aku melihat Bapak mengusap-usap punggung Ibuk.
"Kalau pun ada yang harus Abigail ceritakan, dia akan ceritakan, Buk. Bapak percaya sama anak-anak kita. Kita tunggu saja, ya."
Gak jadi menghampiri Bapak dan Ibuk, aku kembali ke kamar. Ada perasaan marah dan sedih. Aku memang menyimpan alasan kenapa dulu memilih gak melanjutkan kuliah. Alasan itu memang belum kuberitahu pada Bapak dan Ibuk sampai sekarang.
Aku tahu aku salah. Namun, mau bagaimana? Aku belum punya keberanian untuk memberitahu. Aku masih butuh waktu.
***
Niat untuk bicara dengan Ibuk dan Bapak baru bisa direalisasikan pagi ini. Saat kami sarapan. Aku berpura gak melihat dan mendengar kejadian kemarin. Dan sepertinya, Bapak dan Ibuk juga memilih melakukan hal serupa.
"Buk, mau buka warung di depan rumah, gak?" Aku memulai.
"Mau, dong. Hitung-hitung biar ada kegiatan. Kenapa memangnya?" Ibuku tampak bersemangat. Entah sedang pura-pura atau sungguhan, aku gak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Yes?
RomanceNiatnya ingin cari suami kaya raya, minimal CEO. Atau bos preman galak, tetapi bucin juga boleh. Namun, hidup itu kenyataan. Dari banyaknya pria di dunia, ada satu yang nekat ingin menghabiskan hidupnya denganku. Namanya Rexi. Ganteng, meski gak pu...